Page 83 - BUMI TERE LIYE
P. 83

TereLiye “Bumi” 80



                         Pukul  tujuh,  aku makan  malam  sesuai  jadwal.  Mama  me-nemani-k u —
                  hanya  menemani.  ”Mama  makannya    nunggu    Papa  pulang,  Ra.”  Aku
                  mengangguk,  mengerti.

                         Pukul  delapan,  gerimis  berubah  menjadi  hujan  deras.  Aku  duduk  di
                  ruang  keluarga,  malas  belajar.  Daripada  di  kamar   sibuk   memencet  jerawat ,
                  kuputuskan  membaca  novel  saja,  menemani  Mama  yang   menonton  televisi.
                  Sialnya,  tetap saja  aku refleks  me-megang-megang  jerawat  sambil  membaca.
                  Urusan  jerawat  selalu  begitu,  semakin  berusaha  dilupakan,  semakin  sering
                  aku  mengingatnya.  Aku  mengeluh  dalam  hati,  hampir  bertanya  untuk
                  kesekian  kalinya  kepada  Mama,  apa  obat  mujarab  jerawat,  tapi  kemudian
                  aku  mengurungkannya.           Nanti    Mama     jadi    punya    amunisi     kembali
                  menggodaku.


                         ”Ma,  Papa  sudah  telepon  lagi  atau  belum?”


                         ”Sudah,”  Mama  menjawab  pendek.

                         ”Papa  bilang  pulang  jam  berapa?”  Aku  memperbaiki  posisi  duduk,
                  membiarkan  si Putih  meringkuk  manja  di ujung  kakiku.  Bulu  tebalnya  terasa
                  hangat.

                         ”Sampai  urusan  di  kantor  selesai,  Ra.  Belum  tahu  persisnya.”  Mama

                  menghela  napas  tipis,  berusaha  terdengar  biasa-biasa  saja.  Aku  manggut-
                  manggut,  tidak  bertanya  lagi.  Kembali  kubaca  novel,  tangan  kiriku  juga
                  kembali  memegang-megang  jidat.

                         Pukul  sembilan,  hujan  deras  mereda.  Mama   menyuruhku   tidur   lebih
                  dulu.  Aku mengangguk,  sudah  waktuku  masuk  kamar.  Baiklah,  aku menut up
                  novel  yang  kubaca.  Si Putih  ikut  bangun,  berlari-lari   menaiki  anak  tangga.


                         Meski  sudah  masuk  kamar,  aku tidak  bisa  segera  tidur   seperti   malam
                  sebelumnya.      Banyak     yang  kupikirkan.       Lewat  tirai  jendela,     kutatap
                  kerlap-kerlip  lampu  di antara  jutaan  tetes air.  Aku menghela  napas,   semoga
                  Papa  baik-baik  saja  di  kantor,  urusan  hari  ini   lebih   mudah.   Refleks  aku
                  memegang  jidat.

                         Si  Putih  mengeong,  naik  ke  atas  tempat  tidur.  Aku  menoleh.  ”Kamu
                  tidur  duluan  saja,  Put.  Aku  belum  mengantuk.”  Aku kembali  mengintip








                                                                            http://cariinformasi.com
   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88