Page 97 - BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS XII - FARRAH, RAHMAH, RYANA
P. 97

Namun,  masih  terdapat  beberapa  narasi  yang  kering.  Mungkin  itu  karena  ada
                        beberapa kutipan panjang yang ditampilkan dalam satu paragraf, tanpa narasi yang
                        lebih  detail.  Kurang  lebih  bentuknya  sama  seperti  tesis.  Tentu  hal  ini  tidak
                        mengurangi kecukupan informasi pembaca mengenai Siberut. Namun, untuk ukuran
                        buku,  narasi  yang  menarik  tentu  akan  sangat  membantu.  Apa  yang  Darmanto  dan
                        Abidah suguhkan dalam buku ini sangat berguna bagi mereka yang bergelut dalam
                        gerakan  masyarakat,  reforma  agraria,  serta  ketegangan  antar  kekuasaan  bekerja.
                        Pembacaan  yang  gamblang  pada  suatu  perebutan  hutan,  menjadi  pelajaran  penting
                        untuk menentukan keberpihakan.





                           Perhatikan teks esai berikut!


                                       Stigma Negatif Lebih Mematikan Dari Covid-19 ?

                                                        Sheria Itqan Biruni

                         “Sebetulnya musuh terbesar kita saat ini adalah bukan virus itu sendiri, tapi rasa
                        cemas, rasa panik, rasa ketakutan, dan berita-berita hoaks serta rumor”

                        ─Joko Widodo, Presiden Indonesia

                               Coronavirus Disease 2019 atau yang sering disebut COVID-19 saat ini telah
                        menjadi perbincangan di seluruh penjuru dunia. Berawal dari munculnya sebuah virus
                        di kota bernama  Wuhan, China  yang saat  ini  sudah  menginfeksi  lebih dari 20  juta
                        umat  manusia  di  dunia.  Sebuah  kejadian  luar  biasa  yang  tidak  terbayangkan
                        sebelumnya  akan  menjadi  separah  ini.  Fenomena  yang  dapat  mematikan  banyak
                        sektor  di  suatu  negara,  bukan  perang  senjata,  melainkan  perang  tehadap  sebuah
                        mikroorganisme,  sehingga  memaksa  manusia  untuk  merubah  gaya  hidup  menjadi
                        lebih  sehat.  Di  Indonesia  sendiri,  sudah  terdapat  100.000  lebih  penduduk  yang
                        terinfeksi  oleh  COVID-19.  Angka  yang  sangat  fantastis  untuk  menyebut  jumlah
                        pasien. Di samping itu, bertambahnya angka ini setiap harinya menyebabkan berbagai
                        kalangan mulai paranoid dan cemas. Masyarakat merasa tidak diberi kepastian akan
                        banyak hal, seperti pandemi yang tidak kunjung selesai, tetapi justru meningkat terus
                        tiap harinya. Hal ini mengakibatkan mereka mulai kehilangan pekerjaan dan memicu
                        munculnya  kasus  kematian  baru  yang  disebut  “kelaparan”.  Berdasarkan  sebuah
                        penelitian, jumlah yang mengalami kelaparan tingkat krisis mencapai 270 juta pada
                        2020  sebagai  akibat  dari  pandemi  virus  corona  (CNN  Indonesia,  2020).  Data  ini
                        mengalami peningkatan yang sangat luar biasa dari tahun sebelumnya.
                               Selama  pandemi  COVID-19  ini  pula,  masyarakat  terpaksa  untuk  tetap
                        #DiRumahAja demi memutus rantai penyebaran virus. Hal ini berdampak pada makin
                        bertambahnya  jumlah  orang  yang  menghabiskan  waktunya  dengan  berselancar  di
                        media  sosial. Berdasarkan  statistika  suatu badan  yang  mengkaji  data-data dari 170
                        industri di lebih dari 50 negara, April lalu melaporkan konsumsi media sosial, seperti
                        Facebook, Twitter, Instagram naik hingga 44 persen (Berty & Yulianingsih, 2020).
                        Paparan  berita  pun  menjadi  sangat  mudah  untuk  dapat  diakses.  Berdasarkan
                        penelitian  pada  4827  partisipan  yang  dilakukan  oleh  Gao  et  al.  (2020),  ditemukan
                        terdapat 82% partisipan yang sering mengonsumsi berita tentang COVID-19 di media
                        sosial.  Sejatinya  fenomena  ini  dapat  berdampak  positif  maupun  negatif.  Apabila
                        literasi  masyarakat  sudah  cukup  baik,  maka  mereka  akan  mendapatkan  informasi
                        yang  kredibel,  sehingga  dapat  lebih  waspada  akan  adanya  terhadap  COVID-19.
                        Namun, realitanya masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang cukup buruk,
                        sehingga tidak dapat  menyaring  informasi  yang  tersebar dengan  baik. Hal tersebut
                        mengakibatkan  beredarnya  banyak  hoaks  yang  meremehkan  ataupun  melebih-
                        lebihkan pandemi ini, sehingga masyarakat mudah terprovokasi tanpa mencari tahu





                                                                93
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102