Page 92 - BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS XII - FARRAH, RAHMAH, RYANA
P. 92
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, pola penerimaan
mahasiswa baru program sarjana pada perguruan tinggi negeri dilakukan melalui
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri); SBMPTN (Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri); dan penerimaan mahasiswa baru secara
mandiri. Bukan berita baru bahwa SNMPTN adalah impian setiap siswa. Mengingat
betapa sulitnya lolos tes seleksi kampus impian, tentu SNMPTN sebagai proses
seleksi yang menggunakan nilai rapor dinilai lebih mudah karena peserta yang lulus
SNMPTN hanya tinggal melakukan registrasi ulang di kampus tujuan dan memenuhi
persyaratan pendaftaran.
Bukan hanya itu, keuntungan lain dari SNMPTN adalah biaya pelaksanaan
yang ditanggung oleh pemerintah, sehingga siswa yang mengikuti seleksi ini tidak
dipungut biaya. Hal ini tentu sangat menguntungkan siswa, terutama siswa yang
berasal dari keluarga yang kurang berkecukupan. Sistem ini menggunakan prestasi
akademik siswa dan akreditasi sekolah sebagai acuan sehingga istilah SNMPTN pun
identik dengan label sekolah favorit bergengsi yang gencar akan prestasi. Tentu fakta
ini akan sangat menguntungkan bagi siswa yang bersekolah di sekolah berakreditasi
baik meskipun proses SNMPTN tetap mengandalkan prestasi akademik dengan
menyertakan nilai rapor dari semester satu hingga lima.
Kenyataan yang terjadi di lapangan justru mengungkap kenyataan bahwa
siswa dengan jejak prestasi yang gemilang belum tentu memperoleh tiket SNMPTN.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, dari mulai akreditasi sekolah, rekam jejak
alumni dari sekolah yang sama di kampus tujuan, hingga jurusan yang dipilih.
Namun, hal yang menjadi sorotan tentu saja akreditasi sekolah, karena kuota sistem
SNMPTN dikenal mengutamakan siswa dari sekolah terakreditasi A yang notabene
dikenal sebagai sekolah favorit. Hal ini tentu menjadi polemik karena terdapat banyak
siswa yang sebenarnya lebih layak untuk mendapatkan jatah SNMPTN, namun
mereka harus kalah karena bersekolah di sekolah non-favorit dengan akreditasi yang
kurang baik.
Hingga muncul sebuah pertanyaan, apa SNMPTN merupakan contoh privilese
siswa yang bersekolah di sekolah favorit atau memang sebuah bentuk parameter
kelayakan siswa dari prestasi yang diperolehnya?
Fenomena ini mengingatkan kita akan gencarnya sistem zonasi, sebuah sistem
penerimaan siswa baru pada sekolah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal yang
(katanya) bertujuan untuk meniadakan kategori sekolah favorit dan non-favorit,
karena setiap sekolah sama saja. Faktanya, masih terdapat kekecewaan orang tua
siswa begitu anak mereka gagal memasuki sekolah yang dikenal sebagai “sekolah
favorit.” Tentu saja stigma “sekolah favorit akan lebih mudah menembus SNMPTN”
nyata adanya dan memang kenyataan tidak berdusta. Bukan hanya mementingkan
gengsi semata untuk sekadar menceritakan keberhasilan anaknya memasuki sekolah
favorit yang elite, keuntungan-keuntungan lainnya yang didapat ketika memasuki
sekolah favorit (salah satunya adalah kuota SNMPTN yang lebih banyak) juga dirasa
masuk pada pertimbangan orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit.
Hal ini berdampak pada sekolah-sekolah lain yang dilabeli sebagai “sekolah
non-favorit”. Kasus yang terjadi pada tahun 2019, yaitu hanya 3 siswa baru yang
mendaftar ke SMA Sriwijaya Kota Bandar Lampung perlu mendapat atensi. Kasus ini
terjadi karena banyak siswa yang memilih sekolah favorit sebagai tujuannya
melanjutkan pendidikan. Kenyataan ini merupakan kenyataan pahit karena stigma
masyarakat tentang SNMPTN kini hanya dilihat dari akreditasi sekolah semata.
Selama sekolah yang dimasuki memiliki akreditasi bagus, kemungkinan diterima
SNMPTN semakin terlihat. Begitu spesialnya privilese yang didapatkan oleh siswa
yang diterima bersekolah di sekolah favorit, tentu tidak ada orang tua yang tidak
berharap hal yang sama bagi anak-anaknya.
88