Page 18 - Sinar Tani Edisi 4087
P. 18
18 E-paper Edisi 21 - 27 Mei 2025 | No. 4087 Tahun LV T ANI SUK SES
Lereng Rinjani
Disulap Agus Jadi Surga Arabika
Dari sunyi lereng Rinjani, lahir aroma harum perubahan. Agus Patra
Wijaya, petani muda Desa Sapit, menyulap tanah tinggi itu jadi
ladang emas Arabika yang mendunia.
abut tipis masih Mataram. Di tengah kesibukan pandangan warga berubah.
menyelimuti kaki kuliah, ia mulai menjual kopi bubuk Mereka melihat hasil, bukan
Gunung Rinjani ketika hasil olahan dari kebun keluarganya. hanya kata. Di tahun ketiga,
suara gemericik embun Modalnya sederhana: alat giling, gelombang minat tumbuh.
bertemu dedaunan kopi keberanian, dan semangat menjual Warga mulai menanam. Bahkan
Kyang mulai bermekaran. dari kelas ke kelas serta lewat media pemudapemuda desa yang
Di sinilah, di Desa Sapit, Kecamatan sosial. sebelumnya gengsi turun ke ladang,
Suela, Lombok Timur, tumbuh “Saya olah sendiri di rumah, lalu kini mulai merapat ke kebun. semangat bahwa bertani bisa jadi
secercah harapan dari balik semak dibawa ke Mataram buat dijual ke “Sekarang sudah ada 20an anak jalan hidup yang menjanjikan.
semak kopi Arabika, harapan yang teman kampus,” kenang Agus. muda yang ikut nanam. Walau “Bertani itu keren. Kita bisa jadi
dirajut oleh tangantangan muda Langkah kecil itu membawa angin belum panen, mereka semangat,” produsen, bukan cuma penonton,”
yang tak lelah menggali berkah dari baru. Ia mulai mengenali proses tutur Agus. ujarnya.
tanah. dari hulu ke hilir: dari pembibitan, Agus tidak sekadar menanam. Ia tahu, membangun semangat
Salah satu tangan itu milik Agus pemetikan, pengeringan, hingga Ia membangun *CV Sapit Farm bertani di kalangan muda itu tidak
Patra Wijaya, pemuda kelahiran 31 pengemasan. Tidak puas hanya Mandiri*, badan usaha yang mudah. Banyak yang lebih tertarik
Desember 1995 yang kini dikenal menjual, Agus mulai berpikir, kenapa memayungi segala aktivitas dari bekerja di kota. Tapi Agus percaya,
sebagai Duta Kopi Indonesia dari tidak menanam sendiri? pembibitan, penjualan bibit, biji kopi, lewat contoh nyata, satu per satu bisa
NTB. Sosoknya tak pernah terpisah Pada 2019, sebelum ia wisuda, hingga produk olahan. Di halaman tergugah.
dari bau tanah basah, matahari bibit kopi arabika ia datangkan rumahnya, bedenganbedengan Ia juga mulai menggandeng
pagi, dan aroma kopi yang perlahan langsung dari Bali. Ia mulai membuka persemaian berderet rapi. Polybag komunitas petani kopi dari daerah
menggoda dari balik jemuran di lahan satu hektar milik keluarga, polybag berisi bibit arabika siap lain, seperti Sembalun, untuk saling
depan rumah. dan menanam kopi. Banyak yang didistribusikan. berbagi ilmu dan jaringan. Pemasaran
Desa Sapit yang berada sekitar ragu. Bahkan mencibir. Sapit, Menurutnya, kopi Arabika unggul juga diperluas. Tak hanya di pasar
64 kilometer arah timur dari Kota menurut mereka, bukan tempat dalam rasa, kadar kafein rendah, lokal, kopi dari Sapit mulai merambah
Mataram memang dianugerahi ideal untuk budidaya kopi arabika. dan harga jual lebih tinggi dari geraigerai kopi kecil hingga ke luar
tanah subur dan hawa sejuk khas Tapi Agus tak goyah. Ia yakin, justru robusta. Ditambah lagi, Arabika NTB. Bahkan, dengan semangat dan
pegunungan. Sejak lama, kopi dengan ketinggian lebih dari 1.000 cocok ditanam di lahan tinggi jejaring, ia terus mengupayakan agar
tumbuh di sini. Namun, tak banyak meter di atas permukaan laut, Sapit dan relatif lebih tahan penyakit. petani di desanya bisa mendapat
yang menjadikannya komoditas menyimpan potensi tersembunyi. Inilah yang mendorong Agus terus akses pelatihan dan bantuan dari
serius. Budidaya kopi sekadar ikut mengembangkan pembibitan di pemerintah.
warisan, belum menyentuh sisi bisnis Panen Perdana desanya.
dan pengolahan modern. Setahun kemudian, tanaman Tahun 2021, Agus menggagas Mengangkat Kopi NTB
Perjalanan Agus bermula mulai berbunga. Dua tahun Kelompok Tani Kopi Milenial di Berkat perjuangannya, Agus
tahun 2017, saat ia masih menjadi setelahnya, buah kopi pertamanya Desa Sapit. Tujuannya bukan cuma terpilih sebagai Duta Kopi Indonesia
mahasiswa Agribisnis di Universitas dipanen dan diolah. Saat itu, mulailah menanam kopi, tapi juga menanam 2021, mewakili NTB. Penghargaan ini
bukan soal gelar, tapi pengakuan atas
kerja kerasnya membangun dari nol.
Ia bukan hanya membudidayakan
kopi, tapi juga membangun
budaya baru: budaya bertani yang
profesional, modern, dan berorientasi
pasar.
Kini, 1.200 kilogram kopi arabika
dari Sapit tak hanya membawa
keuntungan finansial, tapi juga cerita.
Cerita tentang pemuda desa yang
berani melawan arus, tentang kopi
yang tumbuh di tanah berkabut dan
keyakinan yang tak pernah surut.
Di lereng Gunung Rinjani,
pohonpohon kopi tumbuh tenang,
menatap masa depan yang perlahan
menguning, matang, dan siap
dipetik. Seperti mimpimimpi yang
tumbuh dari tanah, dan dirawat
dengan ketekunan.
Agus Patra Wijaya bukan hanya
petani. Ia simbol semangat baru
pertanian Indonesia. Dan kopi
Sapit, adalah cangkir kecil yang
menghidangkan harapan besar.
Nattasya