Page 7 - plif.pdf.iisnabilaa
P. 7
Menurut Mangunwijaya ‘kita tidak perlu benci pada ITIB, tetapi juga adalah tolol sekali bila
ITIB sampai kita anggap selaku Dewi Sri terpuja masa kini”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
menghadapi realitas teknologi, kita perlu membangun atau memerlukan suatu sikap yang kritis.
Pertanyaannya adalah kritis terhadap apa? Dan bagaimana menjadi kritis? Untuk pertanyan ini
ada beberapa langkah yang dapat dikerjakan antara lain:
1)Aktif.
Artinya dengan sikap yang gamblang, paham perkaranya dan tahu apa yang harus diperbuat,
bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri maupun juga kepada generasi yang akan datang.
Hal ini dimaksudkan sebagai suatu perumusan sikap dan strategi politik teknologi yang arif. Hal
mana sangat berdampak pada suatu technostructure (struktur teknologi) yang berperangai
sebagai kekuasaan, terutama melalui MNC (Multi National Corporation). Tetapi hal ini bukan
hanya menjadi tugas dari negara-negara yang sedang berkembang saja, melainkan menjadi tugas
seluruh bangsa di dunia ini dalam proses Kultur und Zivilisation. Hal ini akan ditunjang pula
oleh kecenderungan dalam masyarakat post-modernis, pasca-industrial yang memberi fokus
terhadap segi-segi non-teknis.
2).Melihat teknologi sebagai sesuatu yang tidak netral.
Teknologi tidak hanya mempunyai dampak positif melainkan juga negatif. Ia tidak statis dan
tanpa pengaruh, melainkan juga dapat menjadi suatu “kuasa” yang sulit dikendalikan. Apalagi
jika dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dan upaya mencari keuntungan belaka. Karena
itu, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengembangkan konsep teknologi yang sepadan,
seperti yang diusulkan oleh Isao Fujimoto, dalam Mangunwijaya, yaitu dengan melakukan empat
prinsip yang penting, antara lain: Teknologi berdasarkan upaya swadaya dan tidak tergantung
pada para ahli, desentralisasi, kerja sama dan bukan persaingan, sadar akan tanggung jawab
sosial dan ekologis.
3)Tanggung jawab moral dan etika.
Hal ini dimaksud untuk menanggapi seluruh dampak teknologi yang merugikan, bahkan semua
orang terutama para sarjana dipanggil untuk hal ini berdasarkan akar-akar religiositas manusia
sendiri, yang dalam iklim teknologi seolah-olah telah hilang ditelan oleh sekularisme dan
rasionalisme. Pertanyaannya adalah dari segi apa hal ini dapat dikembangkan? Tiada lain adalah
melalui segi budaya berdasarkan proses kontekstualisasi. Terutama dengan memberi
penghargaan kepada orang-orang atau wadah-wadah gerakan yang sadar akan adanya bahaya
teknologi dan berupaya untuk menciptakan suatu masyarakat yang mencita-citakan suatu paham
convivial menurut konteksnya masing-masing.
4)Menciptakan iklim yang relevan manusiawi dengan pemahaman yang tepat tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam arti bahwa pemanfaatan sejumlah teknologi haruslah menjamin suatu kelangsungan
kehidupan. Teknologi dengan segala keunggulannya bukan dipakai demi pengrusakan dan
eksploitasi seluruh alam, melainkan untuk suatu pengolahan yang berkelanjutan.
Selain itu teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari
sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222)
berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain,
teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu