Page 30 - SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DAERAH SULAWESI UTARA
P. 30

sbns,' H  rlir um ..  :£v1rlcc1
               -t~P~ WM~Yi~ f&arnpai ke Philipina ·yaitu Kotabato.  ll)
            3.   Kerajaan  Manganitu  dengan  wilayah  mulai  dari  Lembawua
               ns~\)W.rCF&nJtmgftelapide. Rajanya pada akhir abad 19 adalah
               rwtahioottrrPohto  dengan  gelar  Presiden  Pengganti  Raja  yaitu
               O~jlilt<l}88-(};  '1894. l2)
            4. ~Te}aj~filli:-;Siau dengan wilayahnya seluruh pulau Siau, dengan
                1
                 ;i>1M8J-_etilau  kecil:  Buhias,  Makalehi  dan  Pahepa  ditambah
               m»t£na1C~ dengan pulau-pulau:  Para, Kahakitang, Mahangetang
               -~rr:rJR faiama.  Rajanya pada akhir abad 19 ialah Lemuel David
                 ( 1890  -  1895).  Raja  inilah  yang  memindahkan  ibukota
                 kerajaan  dari  Ondong  (sekarang  Kecamatan  Siau  Barat)
                                                13
                 ke Ulu (Kecamatan Siau Timur). '  >
            5.   Kerajaan  Tagulandang  dengan  wilayahnya  meliputi  pulau
                 Tagulandang ditambah pulau Ruang dan Biahe. Rajanya ialah
                                                      14
                 Raja Salmon Bawoleh (1885 - 1901).  >
                 Di  bawah  pemerintahan  raja-raja  ini  terdapat  pemerintahan
            Jogugu-:jogugu  yang masing-masing membawahi para Kepala Desa
            yang disebut "Kapiten Laut" atau "Opo Lao".
                 Di akhir abad ke.,.19  itu terjadi beberapa sengketa antara raja-
            raja  itu  mengenai  batas-batas  kerajaan  terutama  antara  Raja
            Manganitu  dan  Raja  Kendahe  dengan  Raja Tahuna.  Hal ini tidak
            lepas  bila  dilihat dari Politik kolonial pemerintah Hindia Belanda
            pada waktu itu yakni politik Divide et Imper,.
                 Mengenai  peraturan  yang  berlaku  ataupun  yang  diciptakan
            baik oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun raja,-raja pada waktu
            itu,  dapat  dikatakan  bahwa  sebagian  besar  (hampir  semuanya)
            hanyalah bersifat lisan saja sebagaimana tenimpul antara lain dari
            kata-kata:  "Raja  bertitah,  rakyat  mendengar."  Kecuali  kontrak-
            kontrak  yang  dibuat  oleh  Pemerintah  Belanda  dengan  raja-raja
            misalnya fentang  besarnya  belasting  (pajak)  dan  yang  terutarna
            pula  adalah  kepatuhan  kepada  Pemerintah  Hindia  Belanda  yang
            sering kali dibuat bilamana terjadi pengangkatan seorang raja baru,


            11)   Wawancara  dCngan  A.  Rompas,  Tahuna,  27-9-1978, dan  dengan  H.E.  Yuda,
                 Tahuna 28-9-1978; Ef. Tatimu, op. cit., hal. 13.  ·
            12)   Wawancara  dengan  A.  Rompas,  Tahuna, 27-9-1978 lihat Ef. Tatimu, Op. cit.,
                 .Hal.  14.                                               -
            13)   Ibid., hal.13.
            14)   Et: Tatimu, ;.)c. cit.

                                                                         21
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35