Page 158 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 158

hidupku  tak  pernah  melihat  Arai  menangis,  tak  pernah  melihatnya
              demikian sedih.  Air  matanya  berjatuhan membasahi  bingkai  plastik  foto
              hitam  putih  ayah-  ibunya,  membasahi  kertas  tebal  mengilat  yang
              dipegangnya  bergetar-getar.  Kami  masih  berdiri  mematung  di  ambang
              pintu ketika ia mengatakan dengan lirih, “Aku lulus...
                  “Dadaku  sesak  menahankan  rasa  melihat  wajah  Arai.  jelas  sekali
              keinginannya  untuk  memberitahukan  kelulusan  itu  pada  ayah-ibunya,
              pada seluruh keluarga dekatnya. Apalah daya sang Simpai Keramat ini. Ia
              sebatang  kara  dalam  garis  keluarganya.  Hanya  tinggal  ia  sendiri.  Pada
              siapa  akan  ia  beri  tahukan,  akan  ia  rayakan  dalam  hari  dan  gembira
              berkah  yang  sangat  besar  ini.  Isakan  tangisnya  semakin  keras.  Aku
              memandangnya dengan pilu dan kembali  teringat pada anak kecil yang
              mengapit  karung kecampang, berbaju  seperti  perca dengan  kancing tak
              lengkap, berdiri sendirian di depan gubuknya, di tengah ladang tabu yang
              tak  terurus,  cemas  menunggu  harapan  menjemputnya.  Ayahku
              menghampiri Arai. Arai menangis sesenggukan memeluk ayahku..
                  Aku  mengambil  surat  kelulusan  Arai  dan  membaca  kalimat  demi
              kalimat  dalam  surat  keputusan  yang  dipegangnya  dan  jiwaku  seakan
              terbang.  Hari  ini  seluruh  ilmu  umat  manusia  menjadi  seitik  air  di  atas
              samudra  pengetahuan Allah. Hari ini Nabi Musa membelah Laut Merah
              dengan  tongkatnya,  dan  miliaran  bintang-gemintang  yang  berputar
              dengan  eksentrik yang  bersilangan, membentuk lingkaran episiklus yang
              mengelilingi miliaran siklus yang lebih besar, berlapis-lapis tak terhingga di
              luar jangkauan akal manusia. Semuanya tertata rapi dalam protokol jagat
              raya yang diatur tangan Allah. Sedikit saja satu dari miliaran episiklus itu
              keluar  dari  orbitnya,  maka  dalam  hitungan  detik  semesta  alam  akan
              meledak  menjadi  remah-remah.  Hanya  itu  kalimat  yang  dapat
              menggambarkan  bagaimana  sempurnanya  Tuhan  telah  mengatur
              potongan-potongn Mozaik  hidupku dan  Arai, demikian indahnya  Tuhan
              bertahun-tahun  telah  memeluk  mimpi-mimpi  kami,  telah  menyimak
              harapan-harapan sepi dalam hati kami, karena di kertas itu tertulis nama
              universitas  yang  menerimanya,  sams  dengan  universitas  yang
              menerimaku, di sana jelas tertulis: Univesite de Paris, Sorbonne, Prancis..

                                     Tamat










                                          156
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   153   154   155   156   157   158