Page 157 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 157

pelamar adalah peluang yang amat sempit. Kalaupun kami lulus, peluang
              aku dan Arai mendapatkan satu universitas yang sama di antara ratusan
              universitas  di  Uni  Eropa  yang  tersebar  mulai  dari  tepi  paling  barat
              Skotlandia  sampai  ke  pinggir  paling  timur,  yaitu  universitas  di  negara-
              negara bagian di Rusia, juga kecil. Di sisi lain kami merasa pengumuman
              beasiswa  ini  sangat  penting  untuk  menentukan  arah  kami  selanjutnya.
              Setiap hari kami waswas menunggu surat dari Tuan Pos..
                  Akhirnya, petang ini....
                  ’Tuan Pos! “kata ibuku..
                  Ayahku yang sedang menyiangi pekarangan menghambur ke pinggir
              jalan  mengambil  surat  dari  Tuan  Pos.  Beliau  menyerahkannya  padaku
              dan Arai. Kami memutuskan untuk membuka surat-surat itu setelah salah
              magrib. Usai magrib ayah dan ibuku langsung duduk di kursi depan meja
              makan  kami.  Kutahu  ayahky  gugup  tapi  beliau  berusaha  setenang
              mungkin. Ibuku tak dapat menyembunyikan kegelisahannya..
                  Petang  yang  sunyi  dan  menegangkan.  Arau  mengambil  bingkai
              plastik  foto  hitam  ayah  dan  ibunya.  Ia  menyingkir  ke  ruang  tamu.  Ia
              duduk di kursi malas ayahku. Di bawah bendangan lampu yang temaram.
              Ia  tak  langsung  membuka  suratnya.  Dibekapnya  surat  dan  bingkai  foto
              ayah-ibunya..
                  Aku  beranjak  membawa  suratku  dan  duduk  di  tangga  rumah
              panggung kami. Ayah-ibuku mengikutiku lalu duduk di kiri kananku. Aku
              tak  sanggup  membuka  surat  itu  maka  kuserahkan  pada  ibuku,  Ayahku
              menunggu dengan gugup. aku memalingkan muka. Ibuku membuka surat
              itu  pelan-pelan  dan  membacanya.  Beliau  tercenung  lalu  mengangkat
              wajahnya,  memandang  jauh,  matanya  berkaca-kaca.  Detik  itu  aku
              langsung  tahu  bahwa  aku  lulus.  Ayahku  tersenyum  bangga.  Aku
              terbelalak ketika membaca nama universitas yang menerimaku.
                  “Alhamdulillah,   “kata   ayah-ibuku   berulang-ulang.   Ayahku
              merengkuh  pundakku.  Tangan  kulinya  yang  hitam,  tua,  dan  kasar
              melingkari leherku. Sejak dulu ia mendaftarkanku masuk kelas satu di SD
              Muhammadiyah, senyum bangga itu tak pernah terhapus dari wajahnya.
              Kini  aku  mengerti  sepenuhnya  arti  senyum  ayahku:  Bahwa  sejak  dulu,
              sejak  aku  masih  sekolah  di  SD  miskin  Muhammadiyah,  ia  telah  yakin
              suatu  hari  aku  akan  mendapatkan  beasiswa  pendidikan  tinggi.  Ia  tak
              pernah  sekalipun  berhenti  meyakini  anaknya.  Namun,  kami  terhenyak
              karena dari ruang tamu, kami mendengar samar-samar suara isakan..
                  Kami bangkit menuju ruang tamu. Dari ambang pintu kami melihat
              wajah Arai sembab berurai air mata. Ia membekap erat bingkai foto ayah-
              ibunya  dan  surat  keputusan  beasiswa  itu.  Iamenatap  kami  penuh
              perasaan  perih  dan  kerinduan.  Kerinduan  pada  Ayah-  ibunya.  Seumur

                                          155
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   152   153   154   155   156   157   158