Page 156 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 156

Betapa ajaib tenaga cinta pertama, Senyum A Ling masih semerbak
              di relung-relung dadaku sama seperti ketika aku berdiri di depan toko itu,
              terpaku melihatnya mengintipku dari balik tirai yang terbuat dari keong-
              keong  kecil,  tujuh  tahun  yang  lalu.  Fragmen  A  Ling  dan  desa  cantik
              khayalan  Edensor  rupanya  tak  labur  dalam  pikiranku,  setidaknya  sang
              waktu tak berdaya menyamarkannya..
                  Aku beranjak ke dermaga. Cendawan gelap berbentuk seperti lembu
              menghalangi bulan, tapi tak lama, lalu sinar rembulan terjun ke teluk-teluk
              sempit yang dialiri anak- anak Sungai Manggar,  berebutan menjangkau-
              jangkau  muara,  menggabungkan  diri  dengan  lengkung  putih  perak
              Semananjung Ayah. Semenanjung yang tenang memendam seribu cerita.
              Tak  jauh  dari  sana,  berbaris  rumah-rumah  sementara  orang-orang
              berkerudung,  karena  rumah  mereka  sesungguhnya  adalah  perahu.
              Mereka, manusia yang jatuh hati pada laut, Wanita-wanitanya keras tapi
              cantik,  pandai  melantun  ayat-ayat  suci,  pria-prianya  santun,  selalu
              merayu dengan kata manisku... ..
                  Rembulan benderang dan kundengar satu teriakan: “Magai... !! ”.
                  Teriakan  nakhoda.  Lalu  berbelok  halus  belasan  bentuk-bentuk
              ramping,  lentik  berseni  seakan  jemari  penari,  dengan  layar  yang  layu
              dikatupkan.  Katir-katir  nelayan  pulang  melaut.  Tenang  berduyun-duyun
              seumpama  kawanan  anai-anai,  merapat  ke  dermaga  disambut  hiruk
              pikuk kuli ngambat. Kuli-kuli itu berlari menginjak lumput, menerabas laut
              yang  dangkal,  mencokok  ujung  katir,  menariknya  ke  darat,  dan
              mengosongkan isinya..
                  Aku seakan melihat diriku sendiri, Arai dan Jimbron, sempoyongan
              memikul  puluhan  kilo  ikan  dari  perahu  menuju  stanplat.  Tiga  tahun
              penuh kami melakukan pekerjaan paling kasar di dermaga itu. Menahan
              kantuk,  lelah  dan  dingin  dengan  meraupi  seluruh  tubuh  kami  dengan
              kehangatan  mimpi-mimpi.  Betapa  kami  adalah  para  pemberani,  para
              patriot  nasib.  Dengan  kaki  tenggelam  di  dalam  lumpur  sampai  ke  lutut
              sampai ke lutut kami yak surut menggantungkan cita-cita di bulan: ingin
              sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin kami di atas altar
              suci Almamater Sorbonne, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika..
                  Aku  masih  seekor  pungguk  buta  dan  mimpi-mimpi  itu  masih
              rembulan,  namun  sebenderang rembulan dini  hari ini, mimpi-mimpi itu
              masih bercahaya dalam dadaku. Tak pernah lekang syair-syair Pak Balia,
              juga ketika ia  mengutip  puisi “Belle de  Paris”yang ditulis  ratusan tahun
              lampau oleh Eustache Deschamps:.
                  Tak  ada  satu  pun  kota  lain  dapat  menyamainya  Tak  ada  yang
              sebanding  dengan  Paris  Berbulan-bulan  aku  dan  Arai  berdebar-debar
              menunggu  keputusan  penguji  beasiswa.  Lima  belas  orang  dari  ribuan

                                          154
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   151   152   153   154   155   156   157   158