Page 359 - BUKU SEJARAH BERITA PROKLAMASI
P. 359
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
KNIL, Kolonel H. J. de Vries, sebelum pendaratan pada bulan Maret
1946, sebagai berikut:
―Kalau kita berprilaku tidak patut, menembak sembarangan,
mengeksekusi tanpa penyidikan yang benar, dan merusak Pura,
hutan sakral atau tempat-tempat suci lainnya karena
sembrono, maka kita akan menghancurkan negeri Belanda di
Bali, dan bukan saja di Bali, tapi juga di mata dunia, di mana
restorasi pengaruh Belanda di Hindia amat bergantung
padanya.‖
44
Pendekatan anti-kekerasan dari komandan perwira Belanda,
yang megutamakan cara-cara damai demokratis seperti dianut
Gubernur Jenderal dan pengikutnya seperti F.H. ter Meulen, membuat
mereka ditinggalkan mayoritas prajurit dan perwira yang pernah di
bawah komandonya. Pada tahun 1945-1946, banyak mantan tawanan
perang yang tergabung dalam Brigade Bali-Lombok ingin kembali ke
Hindia untuk membalas dendam terhadap kaum pemuda Republikan
yang telah berkolaborasi dengan Jepang dan merampas kendali negeri.
Tatkala tentara Belanda pertama diijinkan mendarat oleh Sekutu, maka
Brigade Gajah Merah atau Brigade Bali-Lombok yang kemudian diubah
menjadi Brigade Y menjelma menjadi garda depan untuk melakukan
pembalasan dan menduduki kembali Hindia Belanda dari kaum
perampas. Dalam situasi seperti ini, pandangan ter Meulen dan van
Mook tidak mendapat respons di kalangan prajurit bawahannya.
Sikap para perwira dan prajurit di lapangan, dengan
otonominya dalam operasi militer, telah membawa ekses perang. Pada
45
pekan-pekan pertama setelah rekolonialisasi, tentara KNIL sering
bertindak indisipliner, menembak orang-orang yang dicap teroris dan
perampok. Baru enam hari setelah pendaratan, enam tembakan telah
terjadi terhadap suatu gerombolan perampok di desa Penebel daerah
Tabanan, dua orang di antara gerombolan itu ditembak mati. Dalam
beberapa aksi yang dilancarkan kelompok teroris dan perampok,
46
pasukan Belanda tidak menderita kerugian.
Selain penggunaan kekuatan militer, strategi damai Belanda
memerlukan kerjasama dengan pelbagai komponen dari kelompok-
kelompok kepentingan di masyarakat. G. Robinson membaginya atas
tiga kategori yaitu: (1) kaum elit tradisional, yaitu para raja dan anggota
keluarga bangsawan berpengaruh, (2) kelompok elit kaum muda
terpelajar Bali, dan (3) rakyat jelata. Strategi ini cenderung terpolarisasi
347