Page 394 - BUKU SEJARAH BERITA PROKLAMASI
P. 394

Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


                Ngurah  Rai  sebagai  komandan  militer  Sunda  Kecil  kepada  Overste  ter
                Meulen, komandan militer NICA, sebagai berikut:
                          ―…… saya bukan kompromis. …… kami sanggup dan berjanji
                         bertempur terus sampai cita-cita itu tercapai. Sekali merdeka,
                         tetap merdeka. Soal perundingan kami serahkan kebijaksanaan
                         pemimpin-pemimpin  kita  di  Jawa.  Bali  bukan  tempatnya
                         perundingan diplomatik.‖
                        Perjuangan  Igusti  Ngurah  Rai  berperang  terus  hingga  tewas
                pada perang Puputan Margarana 20 November 1946.
                        Sementara  sosok  Ide  A.A.  Gde  Agung  telah  memilih  cara
                perjuangan  melalui  perundingan  dan  diplomasi,  terutama  ketika  dia
                lengser sebagai raja Gianyar (1943 – 1946) dan menyerahkan kekuasaan
                kepada adiknya A.A. Gde Oka pada akhir tahun 1946. Kiprah Ide A.A.
                Gde Agung dilanjutkan di luar swapraja Gianyar, karena (1) Bali bukan
                tempatnya perundingan diplomasi, dan (2) Ide A.A. Gde Agung sangat
                aktif  dalam  perjuangan  diplomasi—diangkat  menjadi  Menteri  Dalam
                Negeri NIT di Makasar, kemudian menjadi Perdana Menteri NIT (1947–
                1949).
                        Berkat kecerdasan diplomatiknya, ia telah menjadi inisiator dan
                mediator  menghadapi  Belanda  dan  Republik  Indonesia  yang
                bersengketa selama periode revolusi Indonesia. Arsitek dan penggagas
                model federalism nasional dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
                telah berhasil mengalahkan model federalism van Mook dalam Negara
                Indonesia  Serikat  (NIS).  Federalisme  dalam  RIS  memutus  hubungan
                sama  sekali  dengan  negeri  induk  dibawah  Ratu  Belanda  dan
                pemerintahan hanya oleh bangsa Indonesia sendiri.

                        Sebaliknya  Federalisme  van  Mook  dalam  NIS  menghendaki
                hubungan di bawah negeri induk Ratu Belanda tetap dilakukan selama
                masa  transisi.  Realitas  yang  terjadi  adalah  Ratu  Belanda  menyerahkan
                kedaulatan  kepada  RIS  pada  puncak  perjuangan  diplomasi  pada  akhir
                Konferensi  Meja  Bundar  27  Desember  1949.  Memang  telah  terjadi
                paradoks.  RI  Prokalamasi  menjadi  pengusung  kemerdekaan  dan  RIS
                adalah  penerima  serta  pengusung  kedaulatan.  Akan  tetapi,  memasuki
                tahun 1950 kedua pengelola Negara (RIS dan RI) berunding lagi karena
                desakan dari rakyat di negara-negara bagian yang menghendaki bentuk
                kesatuan unitaris. Gerakan rakyat dan para elit di pusat-pusat kekuasaan
                akhirnya  sampai  pada  pilihan  bentuk  unitaris,  yaitu  Negara  Kesatuan



                382
   389   390   391   392   393   394   395   396   397   398   399