Page 21 - UKBM.drama_Neat
P. 21

BAPAK           :Te-ror….
                 IBU                  :Ya. Te-ror….
                 BAPAK           :Te-ror-te-ror-te-ror….hmmm….
                 IBU                  : (Melihat dengan wajah kesal)
                 BAPAK           :Aku belum ingat apa yang ada hubungannya dengan kita. Tapi kalau mendengar kata itu, aku
                                           Jadi  ingat apa yang terjadi pada zaman geger-gegeran dulu itu.
                 IBU                  :Itu juga belum lama.
                 BAPAK           :Tapi semua orang sudah lupa.
                 IBU                  :Pura-pura lupa.
                 BAPAK           :Buku sejarah saja tidak mencatatnya.
                 IBU                  :Itu dia. Dosa orang lain dicatat besar-besaran. Dosa sendiri menguap entah kemana.
                 BAPAK           :Hmmm. Rumit ya Bu?
                 IBU                  :(Berdiri, berjalan ke jendela)
                                           Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu.
                                           Malam-malam semua orang berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah
                                           apa  lagi. Mereka mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak,
                                           karena yang  dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu keatap lainnya seperti
                                           musang. Kadang-kadang dia jatuh, merosot. Orang-orang mengejarnya juga seperti nengejar
                                           musang. Aku masih inget suara gedebugan di atas genteng itu. Orang-orang mengejar dari
                                           gang ke gang, suaranya juga gedebukan. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan
                                           parang. Orang itu lari. Terpeleset, hamper jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua
                                           tempat terkepung. Orang itu terkurung….
                 BAPAK           :Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.
                 IBU                  :Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang
                                           dialami keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar
                                            seperti musang. Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng
                                            ketika terpeleset dan tidak ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah
                                            menunggunya dengan parang.
                 BAPAK           :Bu!
                 IBU                  :Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti
                                            binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang
                                            ketakutan.  Aku masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan
                                             hati riang. Kok bisa? Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar
                                             jeritan bapaknya?
                                            Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu mendengar
                                            jeritan anaknya? Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya?
                                            Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang
                                            segala?
                 BAPAK           :Untuk apa kamu mengingat-ingat ini semua?
                 IBU                  :Itulah pertanyaanku juga. Untuk apa? Tapi aku tidak sengaja mengingat-ingat. Aku ingat
                                           begitu  saja. Kenangan itu menempel seperti lintah. Dia lewat seperti kenangan.
                 BAPAK           :Kenangan buruk.
                 IBU                  :Mimpi buruk
                 BAPAK           :Sejarah
                 IBU                  :Itulah dia pak. Sejarah. Sejarah itu ada. Hidup terus sampai hari ini.
                 BAPAK           :Waktu
                 IBU                  :Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di
                                            kelas,  aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di
                                            tembok, papan  tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-
                                            teriak, mencari orang- orang yang diburu.
                 BAPAK           :Waktu
                 IBU                  :Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa kita sekarang mengulanginya?
                 BAPAK           :Satria!
                 IBU                  :Itulah. Bapak ini belum begitu tua kok sudah berusaha pikun. Tidak baik begitu pak. Kalau
                                           kita melupakan kekejaman, kita akan mengulanginya.
                 BAPAK           :Aku Cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang
                                           malang malah dijauhi. Ada yang bilang. “Sorri aku baru menelpon sekarang, ini pun dari
                                           telepon umum, karena aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja.
                                          Sorry, aku takut,  aku punya anak kecil soalnya” hmmmh. Saudara-saudara menjauhi

                                                                                                       20
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26