Page 235 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 235
PER AN DPR D AN MUNCULNYA KRITIK
TERHAD AP ORDE B ARU 19 77 - 1982
Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 turun. Golkar
memperoleh suara 62, 11 %, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan
4 kursi dibanding pemilu 1971. Golkar mengalami kemrosotan dalam
mengumpulkan kursi sedangkan dibeberapa daerah mengalami
kenaikan. Di daerah pemilihan di Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Irian
Jaya, mengalami pengurangan jumlah kursi. Sedangkan di Sulawesi
Selatan dan Maluku Golkar mengalami kenaikan jumlah kursi.
214
Pada pemilu 1977 suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya
di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar.
Perbandingan suara PPP dan Golkar di Daerah Aceh adalah 641.256
: 460.992. Perolehan kursi PPP di Daerah Istimewa Aceh menjadi 6
kursi sedangkan Golkar turun menjadi 4 kursi. Kemenangan PPP
di Daerah Istimewa Aceh sudah dapat diduga karena penduduknya
yang mayoritas beragama Islam banyak memilih PPP. Sedangkan
kemenangan PPP di DKI Jakarta mempunyai perbandingan suara
1.085.069 (PPP): 980.452 (Golkar). PPP menang pada masyarakat
pinggiran kota Jakarta yang juga merupakan masyarakat Islam.
Kemenangan kembali Golkar dalam pemilu 1977 antara lain
disebabkan oleh sifat masyarakat Indonesia yang patrenalistis atau
bapakisme, yaitu terikatnya sifat masyarakat Indonesia pada pemuka
agama sehingga kalau pemuka desa menentukan memilih Golkar,
maka akan di ikuti masyarakatnya. Golkar dapat memanfaatkan
kondisi tersebut dan menolak bahwa kepala desa melakukan tekanan-
tekanan terhadap penduduknya. Golkar unggul dalam oganisasi,
215
karena Golkar mempunyai fasilitas dan peralatan yang dengan cepat
mengetahui hasil-hasil pemungutan suara.
Kemenangan
kembali Golkar
dalam pemilu 214 Sinar Harapan, 9 Juni 1977.
215 Dalam kenyataannya, tekanan kepada masyarakat agar berpihak kepada salah satu kontestan,
yaitu Golkar, marak terjadi di berbagai daerah. Beberapa bahkan menimbulkan gejolak dan hampir
1977 antara lain menimbulkan kerusuhan, seperti yang terjadi di Pandeglang, Banten, menjelang pelaksanaan
Pemilu 1977. Seorang Ulama terkenal dari Pesantren Cidahu, Pandeglang, bernama Abuya Dimyati
disebabkan oleh (Kyai Ahmad Dimyati) mendapat perlakuan yang sangat tidak menyenangkan akibat ucapannya
yang dianggap menyinggung penguasa. Dalam sebuah ceramahnya, Abuya Dimyati mengatakan
sifat masyarakat bahwa pemerintah itu bukan Golkar, pemerintah itu negara RI. Ucapannya itu merupakan respon
akibat banyaknya tekanan kepada masyarakat Pandeglang oleh aparatur negara agar masyarakat
Indonesia yang hanya memilih Golkar dan bukan PPP atau PDI dalam pemilu yang akan diselenggarakan. Abuya
Dimyati kemudian ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses persidangan yang jelas, dengan
patrenalistis atau tuduhan melawan pemerintah. Ditangkapnya ulama kharismatik tersebut membuat warga
Pandeglang dan Banten Lainnya bergerak. Massa berkumpul di depan tempat Abuya Dimyati
bapakisme,... ditahan. Hampir terjadi kerusuhan karena masyarakat yang terdiri dari masyarakat biasa, ulama,
santri, hingga jawara Banten menuntut agar ulama panutan mereka tersebut dibebaskan saat
itu juga. Namun kerusuhan tidak terjadi, karena justru Abuya Dimyati Sendiri yang meredam
amarah para pendukungnya. Ia meminta agar semua orang tenang dan kembali ke tempatnya
masing-masing. Biarkan saja proses hukum dijalankan. Massa akhirnya tenang dan bubar tanpa
insiden. Lebih lengkap mengenai hal ini, lihat, Juhdi Syarif, Sikap Politik Abuya Dimyati Terhadap
Kebijakan Pemerintah Orde Baru: Kasus Pemilu 1977 di Pandeglang Banten, 2018. Disertasi
Program Pasca Sarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
SEJARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 231
REPUBLIK INDONESIA 1918 – 2018
Bab IV.indd 231 11/21/19 18:13