Page 142 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 142

134    Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya



             politik  pihak  kerajaan  agar  dapat  mengontrol  seluruh  warga  dan  terutama  pembantu-
             pembantunya di tingkat desa. Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa terbentuk melalui
             pemberian tanah lungguh kepada mereka, yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak
                       12
             kerajaan.
                  Berlanjut pada masa Pemerintahan Kolonial, bagi para ahli uang berpendapat bahwa
             sebelumnya  tidak  ada  tanah  komunal  di  Jawa,  beranggapan  bahwa  pihak  Belanda  telah
             mengkomunalkan  tanah  pedesaan  untuk  memudahkan  penarikan  pajak  tanah  dan

             pelaksanaan wajib kerja. Hal ini dimulai dengan usaha Raffles untuk memudahkan penarikan
             pajak tanah dengan memanfaatkan lembaga desa. Dengan yurisdiksi tersebut, seluruh tanah
             dianggap sebagai tanah desa sehingga pihak kolonial cukup berhubungan dengan penguasa
                                                      13
             desa sebagai penanggung jawab wilayah.
                  Secara umum  selama masa penjajahan telah terjadi dominasi dan eksploitasi sumber-
             sumber  kekayaan  tanah  jajahan  untuk  kepentingan  negara  penjajah,  baik  berupa  tenaga
             maupun  hasil  negara  jajahan,  baik  berupa  tenaga  maupun  hasil  produksi  negara  jajahan
             (Fauzi,  1999).  Meskipun  secara  skala  persoalan  dan  politiknya  berbeda,  sesungguhnya

             struktur ini masih meneruskan pola zaman kerajaan, karena penjajah bekerja sama dengan
             kaum bangsawan. Para bupati dan Raja diberi hak untuk memungut hasil-hasil pertanian
                                                                                     14
             untuk diserahkan kepada penjajah, sehingga beban petani makin berat.
                  Bersamaan dengan munculnya liberalisme Belanda, para pengusaha swasta di Belanda
             menuntut diberi kesempatan untuk membuka perkebunan di Indonesia. Untuk itu Belanda
             mengeluarkan  Undang-Undang  agraria  (“Agrarische  Wet”)  tahun  1870,  yang  memberi
             kesempatan  penyewaan  jangka  panjang  tanah-tanah  di  Indonesia  untuk  perkebunan.

             Peraturan ini menjadi dasar peraturan agraria di Indonesia, namun bersifat dualistis karena
             bagi  orang  asing  berlaku  hukum  Barat,  sedangkan  bagi  rakyat  Indonesia  berlaku  hukum
             Adat. Dengan hukum barat dimungkinkan  untuk memiliki tanah (hak eingendom) termasuk
             menyewakan ke hak lain.

                  Tujuan undang-undang tersebut adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi modal
             swasta asing dan memang berhasil, disamping tujuan lainnya yaitu untuk melindungi dan
             memperkuat  hak  atas  tanah  bagi  bangsa  Indonesia  Asli  tdak  tercapai  (Wiradi,  2000).
             Disamping itu sikap mau menang sendiri para Raja dan Sultan di Jawa dan Luar Jawa juga
             ikut memberikan kemudahan konsesi kepada para penguasa swasta asing.
                  Pemerintah  juga  melakukan  kebijakan  sistem  sewa  tanah  kepada  petani,  meskipun

             kurang berhasil (Fauzi, 1999). Kebijakan ini dilandasi oleh asumsi bahwa tanah adalah milik
             Belanda. Sistem sewa ini diterapkan dengan harapan akan dapat memberikan kebebasan dan
             kepastian  hukum  serta  merangsang  petani  untuk  menanam  tanaman  perdagangan,
             disamping menjaga kelestarian pendapatan pemerintah. Pada tahap selanjutnya, sistem sewa


                12  Ibid,  Samun Ismaya ,hl.74.
                13  Ibid,  Samun Ismaya, hl.74.
                14  Ibid,  Samun Ismaya, hl. 75.
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147