Page 143 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 143

Evy Indriasari: Wacana Rekonstruksi Peralihan Hak Atas Tanah Pertanian ...     135


             ini diarahkan untuk meningkatkan ekspor dengan mengundang perusahaan swasta besar
             dari  Belanda.  Dari  uraian  tersebut  diatas  jelas  bahwa  pemerintah  kolonial  memilih  pola
             penguasaan tanah, dalam bentuk sewa atau pengenaan pajak, sebagai instrumen penting
             dalam  memajukan  pertanian,  meskipun  bersifat  sepihak  yaitu  untuk  kepentingan
             pemerintah sendiri. Politik agraria Belanda memberikan dampak yang hampir serupa bagi
             petani dibandingkan dengan politik agraria Kerajaan. Meskipun pada tingkat atas kedudukan
             kerajaan  digantikan  oleh  Belanda,  struktur  masyarakat  pada  tingkat  bawah  (desa)  masih
             tetap sama. Petani tetap sebagai penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagai hasilnya
             kepada pihak penguasa.
                  Husken (1988) dalam penelitiannya di Jawa Tengah, menyatakan bahwa struktur yang
             terjadi adalah “kerbau besar selalu menang” (kebo gedhe menang berike). Jumlah pemilik

             tanah sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi.
             Mereka  memiliki  akses  kuat  ke  dunia  politik,  dan  di  antara  mereka  saling  berhubungan
             keluarga. Mereka praktis menguasai sawah yang subur dan mengatur tenaga kerja, sementara
             para petani yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya
                                                                                   15
             hanya sebagai pengikut yang tidak mempunyai kekuatan (powerless).
                  Dari masa feodalisme berlanjut masa pemerintahan kolonial dapat dipahami praktek-
             praktek pemerasan terhadap petani terjadi pada jaman tersebut.
                  UUPA memuat solusi persoalan penyelesaian persoalan-persoalan keagrarian   Sesuai

             dengan situasi dan kondisi keagrariaan di Indonesia pada masa itu, yang disebut dengan
             Agrarian  Reform  Indonesia.  Tujuan       Agrarian  Reform  Indonesia  tidak  lain  untuk
             mewujudkan  masyarakat  adil  dan  makmur  berdasarkan  Pancasila.  Agrarian  Reform
             Indonesia pada saat mulai berlakunya UUPA terdiri dari 5 ( lima ) Program, yaitu:
                  1  Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional
                     dan pemberian jaminan kepastian hukum;
                  2  Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
                  3  Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
                  4  Perombakan  pemilikan  dan  penguasaan  tanah  serta  hubungan-hubungan  hukum
                     yang  bersangkutan  dengan  pengusahaan  tanah    dalam  mewujudkan  pemerataan

                     kemakmuran dan keadilan;
                  5  Perencanaan  persediaan  dan  peruntukkan  bumi,  air  dan  kekayaan  alam  yang
                     terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya
                                                  16
                     dukung dan kemampuannya.
                  Salah satu Pasal yang menjadi dasar dalam Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah
             serta  hubungan-hubungan  hukum  yang  bersangkutan  dengan  pengusahaan  tanah  dalam
             mewujudkan  pemerataan  kemakmuran  dan  keadilan  yaitu  Pasal  10  ayat  (1)  UUPA.  Di
             nyatakan  dalam  Pasal  10  ayat  (1)  UUPA  memberikan  kewajiban  kepada  orang  dan  badan
             hukum  yang  mempunyai  hak  atas  tanah  pertanian  untuk  mengerjakan  atau  mengusaha-

             kannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.


                15  Ibid,  hl.74.
                16  Op.cit, Boedi Harsono, hl. 3.
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148