Page 140 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 140

132    Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya



             menjadi  konsentrasi  penduduk.  Namun  ini  tidak  berarti  bahwa  kehidupan  saat  itu  dapat
             dikatakan harmonis. Schrieke (1955) menemukan bahwa tidak ada insentif bagi petani untuk
             meningkatkan produksi karena surplus produksi diberikan untuk keluarga raja dan birokrasi
             di keraton. Upeti ini harus diberikan karena pihak kerajaan telah berjasa dalam membangun

             konstruksi dan pemeliharaan saluran irigasi dan jalan, jaminan keamanan serta penyediaan
             bangunan lumbung padi. Akibatnya kehidupan petani berada dalam tekanan pihak kerajaan.
                  Pada masa abad 18 dan 19, secara umum di Jawa dikenal tiga kelas penguasaan tanah,

             yaitu:
                  a.  Para  petani  tuna  kisma  yang  berlindung  pada  keluarga-keluarga  petani  berlahan.
                     Kelompok ini sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat.
                  b. Para  petani  (sikep  atau  kuli)  yang  memiliki  hak  penguasaan  atas  tanah.  Karena

                     memiliki tanah sendiri, mereka diwajibkan  membayar pajak dan upeti dalam jumlah
                     besar kepada kerajaan.
                  c.  Kelas  pamong  desa  yang  selain  menguasai  lahan  pribadi,  juga  berhak  menguasai
                     sejumlah besar lahan desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan yang

                     disebut tanah lungguh dan tanah bengkok, ditambah hak memperkerjakan sikep atau
                     kuli untuk menggarap lahan mereka tanpa upah.
                  Dengan komposisi seperti ini, pada masa itu pola hubungan majikan-buruh dan tenaga

             kerja upahan sudah dijumpai, sebagaimana dikatakan Husken dan White (1989). Selain itu,
             penelitian Breman (1986) di wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang hampir serupa.
             Temuan  ini  memperkuat  tesis  bahwa  masyarakat  Jawa  telah  terstratifikasi  secara  sosial.
             Menurut Breman, ada 4 lapisan dalam masyarakat desa, yaitu:

                  1.  Penguasa Desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah
                     secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja. Mereka berada
                     dilapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah keluarga
                     pembuka wilayah tersebut pertama kali atau keluarga kerajaan.

                  2.  Masyarakat  tani  (sikep)  sebagai  inti  masyarakat.  Secara  kuantitas  jumlah  mereka
                     paling besar dibanding yang lain.
                  3.  Para  wuwungan  (penumpang)  yang  hidup  sebagai  buruh  tani,  dan  membangun

                     rumah di pekarangan sikep karena tidak mempunyai lahan sendiri. Mereka adalah
                     petani tuna kisma.
                  4.  Para bujong, yaitu mereka yang belum berkeluarga.
                  Di bawah sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan bangsa-

             wan,  bahkan rakyat  juga  milik  raja  yang  dapat  dikerahkan  tenaganya untuk  kepentingan
                       9
             penguasa .  Rakyat  yang menggarap  lahan  hanya  mempunyai  hak  pakai,  bukan  memiliki.
             Petani diharuskan menyerahkan separuh hasil bumi sebagai upeti berupa buah-buahan, padi,

             bahan  mentah  atau  barang  jadi,  dan  kayu-kayu  gelondongan.  Dengan  posisi  sebagai

                9  Ibid,   Samun Ismaya, hl. 72.
   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145