Page 247 - Asas-asas Keagrariaan: Merunut Kembali Riwayat Kelembagaan Agraria, Dasar Keilmuan Agraria dan Asas Hubungan Keagrariaan di Indonesia
P. 247

mengisyaratkan bahwa objek yang seharusnya diatur meliputi
                 bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
                 dalamnya. Namun, ternyata bahwa UUPA sendiri menunjukkan
                 adanya ketidakselarasan antara wadah dan prinsip-prinsipnya
                 dengan sumbtansi penjabarannya yang lebih menekankan pada
                 tanah saja. Konsekuensinya, pembangunan hukum masing-masing
                 sektor didasarkan pada pola pikir dan kepentingan yang berbeda-
                 beda yang dikembangkan oleh masing-masing instansi yang diberi
                 kewenangan khusus.” 45

                 Dari penjelasan Sumarjono di atas jelas sekali bahwa UUPA
            memang belum memberikan penafsiran yang tuntas atas Pasal 33
            ayat (3) UUD 1945. Sehingga hak menguasai negara atas sumber daya

            alam Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal tersebut,
            dijabarkan secara sektoral oleh berbagai undang-undang tentang
            sumber daya alam. Dan menurut Sumarjono, et all (2000, dalam
            Sembiring 2012: 44) masing-masing dari UU tersebut memposisikan
            dirinya sebagai suatu sistem, dan bukan sebagai sub sistem dari UU
            tentang sumber daya alam. Ini lah yang kemudian menjadi faktor
            yang cukup sulit dihindari atas terjadinya sektoralisasi kelembagaan
            agraria di Indonesia. Sektoralisasi akibat kebijakan rezim Orde Baru
            ini pula, yang kemudian membuat masing-masing instansi tidak bisa
            saling menurunkan egonya masing-masing. Sehingga yang terjadi di
            lapangan adalah berdampak pada semakin runyamnya pengaturan
            agraria di Indonesia akibat terjadinya tumpang tindih aturan hukum
            yang berlaku. Hal ini sebagaimana diungkapkan Kurnia Warman
            berikut:


                 “Ketidaktuntasan tersebut secara normatif mengakibatkan
                 terjadinya tumpang tindih aturan hukum yang berlaku (tidak
                 singkron dan tidak harmonis) antara bidang pertanahan, kehutanan
                 dan pertambangan; dan secara empiris menimbulkan konflik
                 vertikal karena masing-masing pengaturan dan pengurusan sumber




                 45 Maria S.W. Sumardjono. 2004. Op.cit., Hlm. 1-2.


            216     Kelembagaan
   242   243   244   245   246   247   248   249   250   251   252