Page 100 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 100
HAMBATAN PERCEPATAN PENDAFTARAN TANAH
DI TANAH ULAYAT SUMATRA BARAT
Haryo Budiawan, Abdul Haris Farid, Sarjita
Ringkasan Eksekutif
Masyarakat Adat dalam era globalisasi eksistensi mereka sangat rentan dan terimbas oleh
pengaruh kepentingan ekonomi global tersebut. Disamping ancaman kerentanan tersebut
masih dihadapkan pula beberapa masalah antara lain adalah Masalah hubungan masyarakat
adat dengan tanah dan wilayah di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan
penghidupannya, termasuk sumber daya alamnya.
Pemerintah, ketika hendak mengiplementasikan program pembangunannya, terutama
ketika memasuki wilayah Masyarakat Adat, terbentur dengan hukum adat mereka, seperti
program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Policy brief ini membicarakan tentang hambatan dari pelaksanaan program percepatan
pendaftaran tanah yang tengah gencar-gencarnya dilaksanakan oleh Kementrian Agraria dan
Tata Ruang/ BPN, dengan target pada tahun 2025 seluruh tanah di Indonesia telah terdaftar di
wilayah masyarakat adat Sumatra Barat. Dari hambatan tersebut direkomendasikan adanya
pemberian sertifikat hak milik komunal untuk MHA, dan pemberian hak pakai untuk anggota
MHA. Diperlukan Regulasi dan kebijakan secara Khusus untuk Pelaksanaan Kegiataan
Pertanahan di Sumatra Barat apabila Objeknya Tanah Hak Ulayat MHA, dari aspek Waktu,
Persyaratan dan Standar pelayanan. Diperlukan peningkatan pemahaman tentang Substansi
/Status Tanah Adat-Ulayat dari MHA bagi SDM- ATR/BPN maupun para pemangku adat
untuk mereduksi Sengketa/Konflik Perkara Pertanahan di Kemudian hari.
Pendahuluan
Dalam beberapa literatur, “masyarakat adat” merupakan terjemahan dari indigeneous
peoples (masyarakat tradisional), tribal peoples (masyarakat suku/pribumi), dan native people
(masyarakat asli), serta forest peoples (masyarakat hutan) atau dalam bahasa Belanda, inheems.
Secara terminologis, peristilahan atau sebutan masyarakat adat, juga digunakan oleh
Departemen Sosial dengan istilah suku-suku bangsa terasing. Sedangkan Koentjaraningrat
menggunakan istilah masyarakat yang diupayakan berkembang. Kemudian Kusumaatmadja
menggunakan istilah kelompok penduduk rentan primitife, peladang berpindah, orang
minoritas (minorities), orang gunung (highlanders). Terminologi penggunaan sebutan
“masyarakat adat” juga telah mendapatkan kesepakatan secara aklamasi dalam Konggres
Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, 15-22 Maret 1999.
Mereka disebut indigenous karena akar turun-temurun kehidupan mereka menjadi satu
kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan wilayah di mana mereka huni, atau akan huni