Page 96 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 96
Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia 87
kepemilikan bersama (kolektif) atas wilayah (tanah Druwe Desa) yang digunakan masyarakat
secara terus menerus guna mencari nafkah hidup, perlu pengaturan pemanfaatannya oleh
prajuru adat. Terbitnya Perda Desa Pakraman, merupakan sarana memperkuat keberadaan
warisan budaya bangsa secara terpadu termasuk tanah druwe desa, karena adanya Ayahan
sebagai pengejawantahan hak dan kewajiban.
2. Druwe Desa sebagai Sarana Perekat Kesatuan Adat
Tanah Druwe Desa terkait fungsi keagamaan dapat diamati dari beban kewajiban
“ngayahang” yang menyertai bagi krama yang mengusahakan PkD dan AyDs. Beban ini
merupakan imbalan atas tanah yang diberikan oleh Desa Pakraman. Setiap krama desa
memiliki kewajiban terhadap Parahyangan dan Palemahan baik ayah-ayahan (kewajiban kerja)
atau pawedalan (urunan materi). Dengan demikian, tanah Druwe Desa disamping mengandung
hak kepunyaan bersama para krama juga mempunyai kewajiban untuk mengelola dan
mengatur penguasaan, pemeliharaaan, dan penggunaannya. Tegasnya terdapat hubungan
resiprokal antara desa pakraman dengan krama melalui tanah druwe desa. Desa Pakraman
bertanggung jawab menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan sosial atau ekonomi krama,
dilakukan dengan memberikan hak garap atas tanah druwe desa, dengan imbalan berupa
kewajiban ngayah krama.
Hubungan saling memberi dan menerima manfaat ini merupakan salah satu alat untuk
menjaga keutuhan warisan budaya: desa pakraman dan tanah adatnya. Setiap desa pakraman
memiliki tiga unsur yang tidak terpisahkan yaitu unsur Parahyangan, unsur Pawongan, dan
unsur Palemahan, terlihat dari masih eksisnya hubungan resiprokal antara krama dengan tanah
druwe desa dalam wujud hak pemanfaatan tanah druwe desa sebagai sarana kehidupan krama,
dan kepatuhan krama dalam melaksanakan kewajiban ngayahan.
3. Pengakuan Tanah Milik Desa Pakraman melalui Konversi
Keberadaan masyarakat hukum adat (dalam hal ini desa pakraman) di Bali sudah
difatwakan dalam konstitusi, sehingga hak-hak atas tanahnya pun sudah diakui sah. Tanah
Druwe Desa bagi krama adat berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan dan
sebagai tempat mempertahankan eksistensi komunalnya (desa pakraman). Jika dikaitkan
dengan pasal 58 UUPA yang mengakui hak ulayat asal tidak bertentangan dan selama belum
diatur khusus, maka apa yang menjadi petunjuk dalam Pasal 3 UUPA dapat dikatakan bahwa
masyarakat hukum adat (desa pakraman) termasuk hak-hak atas tanah Druwe Desa, dalam
kenyataanya masih ada, sehingga hanya perlu dibawa ke dalam pengaruh hukum nasional.
Dengan demikian, tanah Druwe Desa merupakan hak ulayat yang sudah terindividualisasi,
tidak dimaksudkan dialihkan menjadi milik krama secara perorangan, namun menjadi milik
Desa pakraman, sehingga dapat didaftarkan haknya melalui konversi hak-hak lama atas tanah.
Meskipun tanah druwe desa ini telah dikonversi menjadi hak milik, tidak menyebabkan sifat-
sifat hak ulayat hilang, tetapi tetap melekat pada hak milik yaitu merupakan hak komunal.