Page 130 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 130

Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia     121


             mampu  mengusahakan/menggarap  maka  diperkenankan  untuk  menggunakan  tanah  ewang
             tersebut. Tatkala tanah telah diperusah dalam jangka lama (lebih dari dua puluh tahun) maka
             tanah ini telah berubah bukan lagi menjadi tanah kosong, namun tanah perusah, sehingga ia
             bisa  bisa  dimiliki  dan  boleh  dilakukan  pelepasan  ke  pihak  luar.  Pada  mulanya  tanah  ewang
             masih  merupakan  tanah  negeri  sehingga  ia  berdimensi  publik.  Namun  tatkala  tanah  ewang
             sudah diperusah maka ia menjadi tanah berdimensi privat, dapat dimiliki dan dapat dialihkan.


             Tanah Perusah (per-usaha-an)
                   Tanah ini adalah tanah yang diusahakan oleh orang-orang dalam masyarakat negeri atas
             tanah kosong atau hutan yang dibuka untuk ditanami dengan tanaman keras/tahunan. Jenis
             tanah  ini  berdimensi  privat,  dan  dapat  dikonversi  menjadi  hak  milik.  Dalam  administrasi

             pertanahan jenis tanah inilah (selain tanah dati) yang mudah menjadi obyek pendaftaran hak
             bahkan peralihan yang disertai dengan ijin pelepasan dari pihak negeri (atau kepala dati, jika
             tanah dati).

             Masyarakat Hukum Adat dan Pengakuannya
                   Masyarakat  hukum  adat  di  Ambon  adalah  kesatuan  negeri.  Negeri  menjadi  petuanan

             adat. Keberadaan negeri sebagai MHA diakui melalui: (a) Peraturan Daerah Provinsi Maluku
             No. 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum
             Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku; (b) Peraturan Daerah Kota Ambon No. 3
             Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon jo. Peraturan Daerah Kota Ambon No. 8 Tahun 2017
             tentang Negeri di Kota Ambon.

                   Negeri  dipimpin  oleh  raja  yang  merupakan  representasi  dari  persekutuan  Masyarakat
             Hukum  Adat  (MHA).  Raja  adalah  pemimpin  pemerintahan  negeri  (eksekutif)  (ibid.).  Secara
             adat  terdapat  Latupati  (latu/ratu  yang  dituakan  oleh  para  ratu/raja),  yang  secara  fungsional
             (bukan  hirarkis)  berperan  sebagai  koordinator  para  raja,  bertugas  merundingkan
             permasalahan-permasalahan lintas-negeri, utamanya masalah sengketa tanah negeri.
                   Di  dalam  kelembagaan  negeri  juga  terdapat  Dewan  Saniri  Negeri  (Saniri  Negeri)  yaitu

             dewan  legislatif  suatu  negeri.  Representasi  saniri  dari  besar  hingga  kecil  dibedakan  menjadi
             Saniri Rajapatih, Saniri Negeri Lengkap, Saniri Negei Besar. Juga terdapat Kepala Soa sebagai
             perpanjangan tangan raja (fungsi pemerintahan) yang sekaligus bertugas sebagai pengumpul
             pajak  dan  pencatat  statistik  desa.  Biasanya  Kepala  Soa  (yang  mencerminkan  authority)
             dipegang oleh kepala dati (yang mencerminkan ownership of property) (Wawancara Zakarias

             Pakahila, Ketua Saniri, 2019).
                   Tuan Tanah adalah tuannya (secara magis) suatu wilayah/tanah yang bertugas mengelola
             pengangkatan  sumpah  adat,  menyembuhkan  orang  sakit,  membuat  sasi  dan  membukanya.
             Kapitan  adalah  pimpinan  pasukan  pada  masa  perang.  Sekarang  memiliki  tanggung  jawab
             mencegah  serangan  gaib  dan  fisik  wilayah  negerinya.  Kewang  adalah  orang  yang  bertugas
             menjaga dan mengawasi tanah-tanah negeri di hutan (tanah yang belum dibuka) (ibid.).
   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135