Page 133 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 133
124 Himpunan Policy Brief
melihat adat sebagai sesuatu bentukan baru dan mengalami sesui dengan kondisinya
(invention, construction). Salah satu pandangan konstruktivis misalnya mengenai keberadaan
dati yang terbentuk pada suatu masa dengan konteks tertentu lalu dipersepsikan hingga saat
ini sebagai adat yang harus dipertahankan dan dilindungi. “Dati property was an invention of
the Dutch East India Company in the 17th century to compensate lineages for services to the
company. Membership in dati groups and access to dati lands are based on patrifiliation. Dati
land thus remains the property of more permanent social units. Dati rights, however, mainly
pertain to political control and access to land.” (Beckmann dan Beckmann 1994, 597).
Kedua pandangan itu ada dalam dua aliran yang berbeda antara perspektif positive
normatism versus socio-historist (contextual). Perspektif pertama biasanya dianut oleh pegiat
adat dan bahkan pemerintah yang menuntut eksistensi masyarakat adat melalui hukum
normatif (perda dan sejensinya).
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Telah ada pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (MHA) berupa negeri
melalui berbagai peraturan daerah (provinsi dan kota/kabupaten). Negeri merupakan
wilayah petuanan MHA. Di Ambon, negeri inilah yang dapat disebut sebagai tanah ulayat
(negeri) yang berdimensi publik. Realitas ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria No. 5
Tahun 1999. Di Ambon juga terdapat tanah adat yang berdimensi komunal dan privat, yakni
tanah dati. Pemahaman terhadap realitas ini dapat didiskusikan lebih lanjut di dalam
kerangka Peraturan Menteri Agraria ATR/BPN 9/2015 junto 10/2016.
2. Pengakuan formal negara terhadap negeri sebagai MHA dan kembalinya otoritas formal
negeri terhadap wilayahnya berada dalam kondisi tatkala hak atas tanah yang ada di dalam
wilayahnya telah mengalami berbagai perubahan yang mendasar dalam rentangan waktu
yang cukup lama serta berbagai kebutuhan anggota masyarakat yang ada di dalamnya akibat
tuntutan demografi, ekonomi dan sosial.
3. Berbagai perdebatan konseptual mengenai adat mendorong kita untuk dapat keluar dari
jebakan esensialisasi antara dikotomi adat sebagai sesuatu yang asli ataukan adat sebagai
sesuatu bentukan baru (untuk tidak menggunakan istilah palsu). Oleh sebab itu pengakuan
terhadap adat harus diletakkan dalam kerangka pengakuan dan perlindungan hak atas
tanah terhadap warga negara pada umumnya.
4. Di dalam menyikapi eksistensi hak ulayat/adat, maka capaian PTSL tidak bisa dibuat
tunggal: yakni target jumlah bidang tanah hak. Sebab, itu akan merugikan dua belah pihak:
bagi masyarakat adat atas tanahnya yang tidak diakui dan masuk dalam program
pendaftaran tanah; dan bagi kementerian karena kesulitan dalam menghadapi eksistensi
tanah ulayat. Oleh karena itu capaian PTSL juga bisa ditentukan dari seberapa banyak tanah
ulayat yang didaftarkan hingga legalitasnya sebagai bentuk pengakuan. Bukan pendaftaran
atas bidang tanah, namun unit wilayah tanah ulayat. Dengan target capaian ini diharapkan
daerah-daerah dengan adanya keberadaan tanah adat yang cukup lekat tidak lagi ragu untuk
menargerkan tanah adat kedalam capaian pelaksanaan PTSL.