Page 127 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 127
PERUBAHAN EKSISTENSI TANAH ADAT DI AMBON, MALUKU
Ahmad Nashih Luthfi, Rofiq Laksamana, dan Akur Nurasah
Ringkasan Eksekutif
Pembahasan mengenai kondisi aktual tanah ulayat di Ambon tidak dapat dilepaskan dari
beberapa konteks yang berpengaruh, yakni pertama, konteks sosial pasca kerusuhan Maluku
(1999-2002) yang mengakibatkan perpindahan penduduk secara masif meninggalkan kampung
dan tanah-tanah yang dimilikinya. Kedua, konteks kebijakan dengan berupa disahkannya
negeri sebagai persekutuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui Peraturan Daerah
Provinsi Maluku No. 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku; Peraturan Daerah
Kota Ambon No. 3 Tahun 2008 junto Peraturan Daerah Kota Ambon No. 8 Tahun 2017 tentang
Negeri di Kota Ambon; serta kebijakan pertanahan nasional berupa dilaksanakannya
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang turut memengaruhi perubahan eksistensi
tanah adat di Ambon, Maluku.
Jenis dan Karakteristik Tanah Adat
Tanah adat di Ambon terdiri dari tanah negeri, tanah dati, tanah ewang, dan tanah
perusah. Masing-masing keempat jenis dijelaskan sebagai berikut.
Tanah negeri
Tanah negeri adalah tanah/wilayah petuanan ulayat yang di dalamnya terdapat kampung
sebagai tanah pemukiman/pekarangan (kintal), dan tanah yang ditanami (kebun/dusun) atau
tanah yang masih belum diolah (kewang) yang ada di hutan negeri. Tanah negeri memiliki
dimensi publik (sebagai wilayah petuanan) dan di dalamnya terdapat hak dengan dimensi
privat tatkala tanah tersebut telah diusahakan oleh anggota ulayat, atau disebut tanah perusah.
Semua anak negeri dapat mengakses tanah ulayat negeri. Sedangkan anak non-negeri
mengaksesnya dengan cara menguasainya jika mendapat ijin atau bahkan dapat memilikinya
setelah dilakukan pelepasan oleh negeri. Tanah adat dan tanah non-adat di dalam petuanan
negeri tatkala ingin dilakukan pendaftaran tanah (dan peralihan), maka diperlukan pelepasan
tanah atau keterangan persetujuan oleh negeri (Raja dan Saniri). Biaya peralihan variatif di
berbagai negeri, seperti di negeri Olillit biaya peralihan adalah 50% x Harga Tanah (untuk
pelepasan), 5% x Harga Tanah (untuk administrasi); di negeri Soya 20% x luas tanah x NJOP
(administrasi); di negeri Halong Rp. 30.000.- x luas tanah (administrasi); di negeri Rumahtiga
Rp. 20.000.- x luas tanah (administrasi) (Kantor Wilayah BPN Provinsi Maluku, 2018).