Page 122 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 122
Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia 113
99,48 %) wilayah Kalimantan Tengah secara sepihak diklaim sebagai kawasan hutan (sebagai
Tanah Negara) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/Um/10/1982
tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
Klaim tersebut berubah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.529/Menhut-
II/2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian No. 759/Kpts/UM/10/1982
tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah,
dengan merubah luas penunjukan kawasan hutan menjadi seluas ± 12.719.707 Hektar (atau
82,47 %) dan 2.660.293 Hektar (atau 17,54 %) merupakan kawasan non-kehutanan. Berdasarkan
Surat Menteri Kehutanan Nomor S.426/Menhut-VII/2006, dinyatakan bahwa wilayah-wilayah
tertentu yang telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan dan dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap adalah secara legal sudah merupakan kawasan hutan,
meskipun kawasan tersebut belum ditata batas, namun pemanfaatan dan penggunaan di atas
kawasan tersebut sudah mempunyai akibat hukum yang terikat dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
2. Klaim sebagai Tanah Negara dalam proses pensertipikatan tanah
Sejalan dengan klaim oleh otoritas kehutanan tersebut di atas, terdapat anggapan bahwa
seluruh wilayah Kalimantan Tengah merupakan tanah negara dapat diketahui dari proses
penerbitan sertipikat tanah. Sampai dengan Tahun 2015 telah diterbitkan hak atas tanah
banyak 594.763 bidang (atau luas 1.840.841,89 hektar), yang dilihat dari bidang tanahnya,
paling banyak (97,83%) merupakan tanah Hak milik namun berdasar luasannya paling banyak
(70,74%) untuk keperluan usaha perkebunan (Hak Guna Usaha) oleh pihak swasta/perusahaan.
Penerbitan sertipikat tersebut, baik Hak Milik, Hak Guna Usaha serta hak-hak atas tanah
laiannya, semuanya dilakukan melalui proses proses pemberian hak. Penerbitan sertipikat oleh
otoritas Pertanahan hanya dilakukan melalui proses pemberian hak yang berasal dari tanah
negara, berarti pula kepemilikan tanah adat (hak lama atas tanah) dianggap tidak pernah
diakui secara yuridis (formal).
3. Klaim masyarakat melalui program Dayak Misik
Komunitas adat Dayak di Kalimantan Tengah yang berada dalam kawasan hutan
merasakan betapa pahitnya kondisi tekanan regulasi otoritas kehutanan, dan klaim sebagai
tanah negara menafikkan pengelolaan tanah dan hutan secara adat yang hampir telah
berlangsung secara turun temurun dan berkelanjutan. Sungguh prihatin karena tanah sebagai
harta berharga bagi masyarakat adat Dayak yang lahir, hidup dan mengusahakan serta
bertempat tinggal di tanah adat tidak mendapat pengakuan dan perlindungan oleh hukum
(Negara) sebagai hak yang sah. Kondisi ini dirasa tidak adil dibandingkan dengan warga
transmigrasi dan investor, dapat memperoleh pengakuan dan perlindungan kepemilikan
dengan adanya sertipikat hak atas tanah.
Berdasarkan kondisi ketidak adilan pengakuan tersebut, kemudian masyarakat Dayak
memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hukum dari Negara dalam bentuk sertipikat
masing-masing 5 hektar per KK melalui program “Dayak Misik”. Bagi masyarakat Dayak di
Kalimantan Tengah, adanya Perber 4 Menteri, dianggap sebagai payung hukum guna