Page 119 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 119
110 Himpunan Policy Brief
amanat Pasal 33 ayat 3 UUD maka tidak perlu dan tidak pada tempatnya Bangsa Indonesia
atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah, tetapi lebih tepat jika Negara sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai pangkal
pendirian tersebut, maka sebagai Badan Penguasa, Negara diberi kewenangan “menguasai”
tanah untuk mengatur dan mengelola tanah dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, jika Bangsa Indonesia dimaknai sebagai rakyat Indonesia, maka
Bangsa Indonesia merupakan pemilik tanah (mempunyai hak yang bersifat keperdataan).
Sedangkan jika dimaknai sebagai Negara (Badan Penguasa), maka bukan sebagai pemilik,
namun sebagai penyelenggara organisasi seluruh rakyat Indonesia yang diberi kewenangan
mengatur organisasi (pemerintahan), berarti memiliki hak yang bersifat publik. Negara sebagai
Badan Penguasa, memang tidak perlu memiliki tanah cukup diberikan kewenangan untuk
mengatur dan mengelola tanah, namun Pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penyelenggara Negara guna melayani kebutuhan rakyatnya dapat mempunyai hak atas tanah,
misalnya Pemerintah Desa, Kementerian, dan lain-lainnya dapat diberikan hak atas tanah
seperti Hak Pakai.
Berdasarkan pola pikir tersebut, penting untuk dikaji apakah masyarakat (hukum) adat
yang diakui oleh konstitusi mempunyai hak ulayat, hanya berkedudukan sebagai pengatur dan
pengelola tanah ulayat saja, atau juga dapat berkedudukan sebagai pemilik tanahnya. Hal ini
penting, karena sebagai pelaksana UUD 1945, UUPA merupakan produk hukum negara
pertama yang mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat.
UUPA secara yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk memfungsikan hukum
agraria nasional sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan masyarakat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur. Berbeda dengan
Hukum Kolonial (BW), sesungguhnya UUPA yang bercorak populis mengapresiasi dan
menghargai keberadaan hak-hak lama sebelum UUPA, baik itu hak yang tunduk pada KUH
Perdata maupun hak-hak yang tunduk pada hukum adat. Wujud penghargaan hak-hak lama
dimaksud terdapat pada Bagian Kedua UUPA yang mengatur tentang Ketentuan-Ketentuan
Konversi. Menurut penafsiran banyak pihak, hanya hak-hak lama Indonesia yang sudah
terindividualisai saja yang dapat didaftarkan konversinya menjadi hak-hak atas tanah menurut
Pasal 16 UUPA, sedangkan hak adat yang masih kuat sifat publiknya diasumsikan tidak dapat
didaftarkan konversinya. Jika Pasal-pasal dalam Ketentuan-ketentuan konversi dicermati
dengan seksama, ternyata terhadap hak adat masyarakat adat dapat dikonversi menjadi hak-
hak atas tanah, misalnya hak atas druwe dan hak atas druwe desa (Pasal II), atau ganggam
bauntuik (Pasal VI), dan lainnya.
Sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif
Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan. Sejalan dengan perkembangan kemajuan
kehidupan masyarakat adat, karakter konsepsi komunalistik-religius pada hak ulayat
berpotensi mengalami pergeseran. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan mengenai
kajian keberadaan tanah ulayat yang diawali dari kajian struktur/pranata masyarakat adat dan