Page 19 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 19
Keistimewan Yogyakarta
yang mereka pakai adalah nosi dekonstruksionis. Dengan demi-
kian sejarah keistimewaan Yogyakarta tidak lagi ditampilkan
dari narasi besar Kesultanan Ngayogyakarta Hadinigrat, tetapi
justru dari narasi kecilnya di “wetan kali,” yaitu dari Kadipaten
Pakualaman. Meskipun demikian, para penulis tidak menga-
baikan sumbangan Sultan Hamengku Buwono IX dalam mem-
buat Yogyakarta yang memang istimewa dalam sejarah nasio-
nal kita.
Buku ini justru memperkaya apa yang selama ini banyak
diperbincangkan orang mengenai keistimewaan Yogyakarta.
Para penulis dengan sangat provokatif menggusur kata keisti-
mewaan agar tidak dimengerti sebagai kata benda, tetapi seba-
gai kata kerja (hlm. 230), sebagai proses menjadi istimewa.
Oleh karena itu proses dekolonisasi pecahan-pecahan kerajaan
Mataram itu kemudian dilihat dari sudut pandang bagaimana
para pelaku sejarah memainkan taktiknya membuka ruang
bebas dari jeratan penetapan kelembagaan negara (kolonial
maupun Republik Indonesia). Tepat pada wilayah taktik
(keruangan) inilah ilmu sejarah, antropologi, dan nyaris
semua ilmu sosial humaniora lainnya bertemu dan sulit dipi-
sahkan satu sama lain. Di sini ruang menjadi sejarah pemak-
naan, yaitu momen ketika orang selalu memperbaharui pema-
hamannya mengenai dunia. Sejarah bukan lagi persoalan
tempat, benda-benda peninggalan dan artefak lainnya. Sebab
dalam ruang pemaknaan itu orang mempertandingkan berba-
gai gagasan bagaimana komunitas (baru) dibangun, dikelola,
dan dihayati. Pendek kata sejarah adalah konteks dari apa yang
dialami oleh para pelakunya.
James T. Siegel (1997) mengklaim bahwa sejarah bangsa
Indonesia tidak berasal dari sumber-sumber asli dan juga bu-
xviii