Page 270 - Konstitusionalisme Agraria
P. 270
perundang-undangan sektoral, sedangkan pelanggaran CSR hanya
merupakan sanksi moral.
Di dalam persidangan perkara itu, DPR memberikan
keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa TJSL yang diatur
dalam Pasal 74 UU 40/2007 telah sesuai dengan falsafah bangsa
Indonesia; berasaskan kekeluargaan dan bukan individualistik. Hal
tersebut berbeda dengan CSR di negara barat yang cenderung pada
asas ekonomi kapitalis dan liberal. Pemberlakuan TJSL, menurut
DPR, yang diatur dalam Pasal 74 UU 40/2007 justru untuk mencapai
kepastian hukum. Karena TJSL ditujukan untuk mendukung
terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
TJSL sebagai tanggung jawab untuk bekerjasama
Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa TJSL merupakan
kebijakan negara yang menjadi tanggung jawab bersama untuk
bekerjasama (to cooperate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan,
dan masyarakat. TJSL merupakan affirmative regulation yang
menurut argumentasi aliran hukum alam bukan saja menuntut untuk
ditaati, tetapi menuntut kerja sama antara pemangku kepentingan.
Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia
mengarahkan bahwa peranan negara dengan hak menguasai atas
bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
termasuk hak untuk mengatur, mengusahakan, memelihara dan
mengawasi, tidak boleh dikurangi atau bahkan diabaikan. Negara,
masyarakat, dan perusahaan yang bergerak dalam eksploitasi dan
pemanfaatan sumber daya alam harus ikut bertanggung jawab
baik secara moral maupun hukum terhadap dampak negatif atas
kerusakan lingkungan tersebut. Prinsip pareto superiority harus
diterapkan, yaitu membangun dan mendapat keuntungan tanpa
mengorbankan kepentingan orang lain.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penormaan TJSL
menjadi kewajiban hukum merupakan kebijakan hukum (legal
policy) pembentuk undang-undang. Kebijakan hukum tersebut
Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi 239