Page 198 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 198

Epilog




                           Geger Pesisiran Urutsewu

                               Ahmad Nashih Luthi



                 “Menjelang pecahnya Perang Jawa, Sunan Pakubuwana VI
                 (bertakhta 1823–1830) merasa luar biasa tertekan akibat
                 Belanda mencaplok daerahnya, Jabarangkah, yang terletak
                  antara Kedu dan Pekalongan di pantai utara, karena hal
                  itu berarti Sunan kehilangan dodol duren, yang dalam
                  satu pikul dikirim setiap tahun ke Surakarta sebagai
                  pengganti pajak. Mengingat semua kekayaan tersebut,
                  tidak mengherankan bahwa pihak keraton memperlakukan
                 Bagelen sebagai bagian penting harta pusaka mereka turun-
                  temurun… [p]engakuan resmi keraton atas pentingnya
                  provinsi berpenduduk padat ini dapat dilihat dalam
                  penyebutan daerah tersebut dalam dokumen kerajaan
                  sebagai siti sewu (sang ‘tanah seribu’), dan penyebutan
                  bupati utama yang memerintahnya sebagai wedana bumi
                  sewu (kepala pemerintahan ‘tanah seribu’)… [s]atu di antara
                 Kabupaten Bagelen yang paling makmur juga dikenal
                  sebagai Urutsewu . — Peter Carey      :   –


            URUTSEWU diperebutkan kembali. Dulu, wilayah yang sangat
            subur ini dipertahankan oleh Mataram dari caplokan Belanda
            menjelang pecahnya Perang Jawa. Wilayah ini juga merupakan
            daerah pertahanan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.
            Menyimpan semangat perlawanan terhadap otoritas penguasa,
            wilayah yang dulunya menyumbang kuli panggul (gladag)
            yang diandalkan untuk kebutuhan di kota kerajaan itu (Carey


                                                                      173
   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203