Page 42 - Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia
P. 42

Sebagai bentuk komitmen (atau keterpaksaan) rezim Orde Baru
             pada perjanjian yang telah disepakati dalam Letter of Intent, yang
             salah satunya adalah Indonesia harus memfasilitasi investor asing
             untuk dapat beroperasi di Indonesia, maka setelah itu rezim Orde
             Baru mengeluarkan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing.
             Dengan lahirnya undang-undang ini, kran pun akhirnya terbuka
             cukup lebar dan leluasa bagi para investor asing untuk menanamkan
             modalnya di Indonesia dalam berbagai sektor, termasuk sektor
             pertambangan dan perkebunan.

                   Setelah keluarnya UU tentang Penanaman Modal di atas,
             pemerintah Orde Baru pun dengan mengatasnamakan “pembangunan”,
             merasa perlu untuk melakukan eksploitasi atas sumber-sumber agraria,
             khususnya dalam sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan.
             Dalam hal ini, Sembiring (2012: 42) mencatat bahwa ketiga sektor ini
             termasuk merupakan sektor yang mendominasi penguasaan tanah
             hingga saat ini. Dan bahkan dapat kita lihat bahwa dalam tiga sektor
             itu pula banyak korporasi-korporasi swasta termasuk korporasi asing
             mengeksploitasi sumber-sumber agraria di Indonesia. Ini seperti
             diungkapkan oleh Joyo Winoto berikut.

                   “Data penguasaan tanah oleh ke tiga sektor tersebut menunjukkan
                   salah satu gambaran yang menyatakan bahwa betting on the strong
                   ternyata berubah betting on the weak atau memukul golongan
                   ekonomi lemah. Kondisi penguasaan tanah oleh perusahan penerima
                   HPH, luas usaha tani petani gurem, serta peningkatan jumlah rumah
                   tangga buruh tani, menyajikan fakta tentang ketimpangan yang
                   diproduksi dari kebijakan politik ekonomi Indonesia empat puluh
                   tahun lalu dan sudah bermula dari masa kolonial.” 40

                   Atas nama pembangunan pula, kemudian membuat setiap
             instansi pemerintah seperti Kehutanan dan ESDM harus bekerja tidak
             saling kooperatif satu sama lain, dan dalam posisi ini keberadaan BPN
             cenderung dilihat secara inferior – ini sangat dimungkinkan karena


                   40 Joyo Winoto. 2008. Tanah Untuk Rakyat. Risalah tentang Reformasi Agraria Sebagai
             Agenda Bangsa, tanpa penerbit. Hlm. 38.


                                                     Kelembagaan Agraria      33
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47