Page 45 - Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia
P. 45
dengan sumbtansi penjabarannya yang lebih menekankan pada
tanah saja. Konsekuensinya, pembangunan hukum masing-masing
sektor didasarkan pada pola pikir dan kepentingan yang berbeda-
beda yang dikembangkan oleh masing-masing instansi yang diberi
kewenangan khusus.” 45
Dari penjelasan Sumarjono di atas jelas sekali bahwa UUPA
memang belum memberikan penafsiran yang tuntas atas Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Sehingga hak menguasai negara atas sumber daya
alam Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal tersebut,
dijabarkan secara sektoral oleh berbagai undang-undang tentang
sumber daya alam. Dan menurut Sumarjono, et all (2000, dalam
Sembiring 2012: 44) masing-masing dari UU tersebut memposisikan
dirinya sebagai suatu sistem, dan bukan sebagai sub sistem dari UU
tentang sumber daya alam. Ini lah yang kemudian menjadi faktor
yang cukup sulit dihindari atas terjadinya sektoralisasi kelembagaan
agraria di Indonesia. Sektoralisasi akibat kebijakan rezim Orde Baru
ini pula, yang kemudian membuat masing-masing instansi tidak bisa
saling menurunkan egonya masing-masing. Sehingga yang terjadi di
lapangan adalah berdampak pada semakin runyamnya pengaturan
agraria di Indonesia akibat terjadinya tumpang tindih aturan hukum
yang berlaku. Hal ini sebagaimana diungkapkan Kurnia Warman
berikut:
“Ketidaktuntasan tersebut secara normatif mengakibatkan
terjadinya tumpang tindih aturan hukum yang berlaku (tidak
singkron dan tidak harmonis) antara bidang pertanahan, kehutanan
dan pertambangan; dan secara empiris menimbulkan konflik
vertikal karena masing-masing pengaturan dan pengurusan sumber
daya agraria itu dilaksanakan oleh instansi atau departemen
pemerintahan yang berbeda.” 46
45 Maria S.W. Sumardjono. 2004. Op.cit., Hlm. 1-2.
46 Julius Sembiring. 2012. Op.cit., Hlm. 48.
36 Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia