Page 74 - Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia
P. 74
merubah nomenklatur kementeriannya tanpa ada peningkatan pola
koordinasi yang signifikan. Hal ini didasarkan pada pemahaman
bahwa kementerian yang terbentuk memang memiliki nomenklatur
kementerian agraria, namun di samping itu kedudukannya adalah
sama dengan kementerian pengelola agraria yang lain misalnya
kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Artinya pola
komunikasi dan koordinasi yang akan terjadi tidak akan jauh berbeda.
BPN bertanggung jawab kepada presiden RI bukan kepada mendagri
lagi atau DPR. Namun dengan penambahan tata ruang, artinya
kewenangan yang dulu pernah dimiliki oleh BPN dalam bidang
penataan ruang berusaha dikembalikan kepada institusi ini. Tujuannya
jelas agar diperoleh keselarasan antara pengelolaan pertanahan
dengan penataan ruang sehingga keinginan untuk mewujudkan “one
map, one policy” dapat tercapai. Gagasan kelembagaan yang coba
untuk dibangun dengan pembentukan kementerian ini adalah untuk
melakukan konsolidasi dan memperkuat koordinasi.
Pola penataan kelembagaan lain yang bisa menjadi alternatif
pilihan adalah pembentukan Kementerian Koordinator bidang
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Kemenko SDA-LH).
71
Ini tentunya dengan kondisi saat ini dimana pengelolaan sumber
daya agraria berada dalam koordinasi menteri perekonomian
sebagaimana dijelaskan di awal. Hal ini dapat didasarkan pada 2
argumen, yaitu: pertama pembentukan Kemenko SDA-LH ini dapat
mengurangi persoalan sektoralisme dalam pengurusan tanah dan
sumber daya alam lainnya. Dengan pola koordinasi di bawah menteri
koordinator perekonomian justru mereduksi keberadaan tanah dan
sumber daya alam sebagai salah satu komponen kecil dalam struktur
ekonomi negara. Kedua adalah untuk melakukan perencanaan dan
pengkoordinasian pelaksanaan program reforma agraria, kementerian
ini berfungsi:
1. Sinkronisasi perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
71 Yance Arizona. Ibid. Hlm 418.
Menggagas Kelembagaan Agraria Indonesia 65