Page 223 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 223
mendapat angin dulu dan pemah dipaksakan oleh segolongan orang
tertentu. Hal-hal yang seperti itulah yang menimbulkan gejala-gejala
merenggangnya hubungan pemilik dan yang menguasai tanah gadai
itu. Sebaliknya UU tersebut ditinjau kembali disesuaikan dengan sistem
gadai yang berlaku. Jika gadai yang dilandaskan penghisapan dan tanpa
melihat orang tempat menggadai, mungkin peraturan itu cocok, tapi
untuk Sumatera Barat gadai yang didasarkan kepada masalah prinsipil
hak mungkin dilaksanakan.
2. Gejala Merenggangnya Hubungan Pemilik dan Penggarap Tanah.
Gejala ini ada hubungannya dengan perjanjian Bagi Hasil, dimana si
penggarap bukan pemilik tanah garapan itu. Di zaman serba modem ini
dimana orang sering bertindak atas dasar prinsip untung rugi (ekonomis)
perlu diadakan pengaturan yang jelas dan tegas. Meskipun sistem bagi
hasil itu sudah baik, perlu dibuat secara tertulis sebagai yang dimaksud
oleh UU No.2/1960 itu. Maaf berbicara orang-orang di zaman sekarang
kejujurannya berkurang, kadang-kadang perjanjian-perjanjian yang
tidak tertulis itu sering dilanggar. Sering terjadi dalam perjanjian bagi
hasil kesalahan-kesalahan kecil bisa meruncing yang mengakibatkan
merenggangnya hubungan antara pemilik dengan penggarap. Oleh sebab
itu perjanjian bagi hasil itu perlu dilaksanakan secara tertulis sebagaimana
dimaksud UU No.2/1960 tersebut.
3. Tak terdapat di Sumatera Barat.
F. SEGI-SEGI EKONOMIS
1. Walaupun inflasi telah dikendalikan di Indonesia, tetapi masih
kelihatan adanya gejala spekulasi tanah pada daerah perkotaan, seperti
di Kota Padang yang menyebabkan kenaikan harga tanah lebih tinggi
persentasenya daripada kenaikan harga tanah sekitar daerah proyek
Pemerintahan seperti sekitar jalan Padang – Lubuk Linggau dan sekitar
proyek Sitiung.
2. Redistribusi tanah dalam rangka landreform di Sumatera Barat adalah atas
tanah negara karena itu masalah ganti rugi pemerintah kepada pemilik
tanah itu tidak ada.
188