Page 218 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 218

dalam hakikinya adalah tetap milik kaum. Buktinya ia tak berhak
                untuk mengalihkan penguasaannya kepada pihak lain, tanpa ada izin
                dari mamak kepala warisnya dan harus pula sepengetahuan Penghulu
                sukunya. Dan dalam prinsipnya peralihan itu tidak boleh dijual lepas,
                hanya boleh digadaikan menurut adat.

                     Meskipun pemegang “ganggam bauntuak” ini meninggalkan
                kecamatan tempat tanah tersebut namun pemilik masih tetap tinggal
                ditempat semula yaitu “Lembaga mamak kepala waris” oleh karena itu
                absentee land ownership itu tidak terdapat di Sumatera Barat.
                     Dan untuk perkembangan selanjutnya berhubungan masyarakat
                Sumatera Barat (Minangkabau) ini. hampir seluruhnya petani, berdagang
                dan merantau itu hanya perbuatannya sementara saja. Pantun/pepatah
                Minang mengatakan :

                     Keratau madang di hulu Berbuah babungo balun Merantau bujang
                     dahulu Dirumah berguna belum Pantun ini menyatakan bahwa
                     perbuatan itu hanya bersifat sementara saja.

                     Hubungan seseorang dengan tanah itu sangat erat dan merupakan
                suatu prestise dengan pengertian orang Minang yang tak punya tanah
                pusakanya ia dianggap rendah. Oleh karena itu peraturan mengenai
                Absentee Land Ownership itu ditinjau kembali dan diberikan pembatasan
                yang wajar, karena seseorang perantau Minang yang kerjanya berdagang
                pada suatu saat akan rugi dan akan kembali ke kampung halamannya.
                     Pepatah mengatakan: “Setinggi-tinggi bangau terbang, surutnya ke
                kubangan juga; setinggi-tinggi melantingnya jatuhnya ke tanah jua”.

                     Asal  jiwa  tani  orang  Minang  itu  tidak  bisa  hilang  sama  sekali,
                meskipun ia pedagang, jiwa taninya masih ada.
            3.  Masalah Dualisme Hukum Negara dan Hukum Adat.

                Di bidang hukum tanah sejak berlakunya UU N0.5 Tahun 1960 yaitu
                Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dualisme hukum ini tidak
                ada lagi; sebelumnya terdapat tanah- tanah yang tunduk kepada hukum
                Perdata Barat dan ada pula tanah- tanah yang tunduk kepada hukum
                adat (tanah adat).


                                           183
   213   214   215   216   217   218   219   220   221   222   223