Page 216 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 216
(4) Pada tahun 2000, perkiraan penduduk Sumbar ± 4.800.000;
(5) Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah untuk Transmigrasi
lokal diwaktu yang lampau dapat diabaikan, sedangkan untuk
transmigrasi nasional baik;
(6) Soal “Drop-Outs” sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi
telah menjadi peka pula, karena lapangan kerja masih kurang.
Sebaiknya untuk selanjutnya daerah-daerah yang mengenal
transmigrasi lokal, di samping menjadi penerima transmigrasi nasional,
perlu diperhatikan pula dalam mendapatkan fasilitas yang memadai dari
negara.
B. SEGI-SEGI HUKUM
1. Masalah Hubungan Petani Penggarap dan Tanah Garapannya
Pada umumnya petani penggarap di daerah Sumbar ini, menggarap
tanah garapannya sendiri. Tanah garapan ini terutama berupa sawah yang
mereka terima turun temurun dari Nenek Moyang mereka. Di samping
sawah terdapat pula tanah garapan berupa ladang atau tegalan. Ladang-
ladang ini terdapat pada tanah ulayat yang penggarapannya dilakukan
oleh anak kemenakan yang berasal dari kaum atau suku yang punya
ulayat itu. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tanah garapan itu
cukup dengan memberitahukan kepada kepala sukunya. Hasil dari tanah
garapan seperti ini hampir seluruhnya menjadi penghasilan si pembuka
ladang tersebut. Hubungan hukum si penggarap dengan tanah garapan
ini dapat berlangsung terus- menerus selama tanah itu diperlukannya;
jika tak diperlukan lagi tanah bekas garapannya akan kembali menjadi
ulayat suku atau kaum dan sifatnya hanya Hak Pakai saja.
Ada pula semacam tanah garapan yang dewasa ini banyak terdapat
terutama di sekitar kota-kota dan teristimewa sekitar Kota Padang. Banyak
di antara pegawai negeri yang.mempergunakan waktu senggangnya
untuk berladang. Tanaman yang mereka tanam ialah commodity export,
seperti cengkeh, kopi, casiavera dan sebagainya.
Tanah yang mereka garap ialah tanah ulayat Nagari dan hak
diperoleh dengan jalan memberikan sejumlah uang kepada pemegang
181