Page 212 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 212
6. Sistem penguasaan tanah
Akibat dari struktur sosial-budaya yang khusus di Sumbar, yaitu dimana
telah dikenal bahwa adat-istiadatnya dipengaruhi sistem matrilineal
(pemindahan waris dari jalur ibu) membawa konsekuensi yang luas
terhadap soal penguasaan tanah. Adat-istiadat ini merupakan tradisi
dalam masyarakat, dimana kedudukan hukumnya lebih kuat dari hukum
tertulis yang harus dilaksanakan masyarakat. Tanah pada umumnya di
Sumatera Barat adalah milik kaum, (kolektivitas suatu ikatan keluarga
berdasarkan tali ikat keturunan menurut garis ibu).
Status milik ini adalah turun-temurun dalam kaum tersebut. Sertifikat
tanah belum atau jarang sekali ada (kecuali di kota-kota), karena
pemindahan hak milik tidak dapat dilakukan oleh individu-individu
dalam keluarga tersebut tapi harus seizin kaum tersebut yang diwakili oleh
kepala-kepala adat atau Ninik Mamak/penghulu kaum tersebut. Karena
pemilik-pemilik tanah tidak memiliki sertifikat, maka petani sulit sekali
mendapatkan kredit dari bank yang tentu sangat menghambat lancamya
proses produksi pertanian. Sebaliknya tanah sulit dipindah tangankan
pemiliknya, maka jaminan proses kemiskinan akibat penjualan-penjualan
tanah dapat dihindari atau paling sedikit ditunda karena di dalam kaum
sendiri tanah milik tersebut berada di atas nama keluarga wanita; social
security wanita pada umumnya lebih terjamin di Minangkabau.
7. Pemilikan Tanah
Sensus Pertanian 1973 menunjukkan bahwa yang mempunyai tanah
yang luas antara 1-2 Ha merupakan golongan terbesar. Yaitu dari
426.492 pemilik yang diketahui 76.360 pemilik atau 17,9% dengan luas
areal 98.604 Ha dari 344.820 Ha yang tercatat. Yang memiliki luas tanah
antara 0,2-0,3 Ha sebanyak 59.811 pemilik atau 14,02% dengan luas
areal 14,393 Ha. Yang memiliki antara 7,5-10 Ha hanya berjumlah 414
pemilik atau 0,1% dengan luas areal 3.490 Ha.
177