Page 217 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 217
ulayat itu. Misalnya Rp. 100.000,- untuk 1 (satu) tanah ulayat. Tanah
garapan ini boleh mereka pakai selama tanaman tua yang pemah mereka
tanam itu masih ada.
Tanah garapan ini dapat pula dialihkan kepada pihak lain, namun
menjadi hak milik sepenuhnya bagi penggarap tadi, belum diizinkan
oleh pemegang ulayat.
Walaupun demikian sebagian dari tanah garapan seperti ini telah
ada pula yang dapat dijadikan Hak Milik bagi penggarap. Hal ini terjadi
dimana pemegang Hak Ulayat telah setuju agar tanah ulayat dilepaskan
sepenuhnya dan dijadikan Hak Milik oleh penggarap tadi. Tanah
garapan yang berupa ladang ini jarang terjadi dengan sistem bagi hasil.
Pada tanah garapan berupa sawah yang penggarapnya bukan pemilik
sawah itu sistem bagi hasil dapat terjadi. Sistem ini terjadi antara pemilik
sawah dengan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan
dengannya seperti kemenakannya, anak pisangnya. Jika tak ada hubungan
keluarga (hubungan darah), paling tidak mempunyai hubungan akrab
dengan pemilik sawah. Bagi hasil ini diatur menurut adat setempat, dan
lebih dari dua pertiga hasil garapan itu diperoleh penggarap; kadang-
kadang bagi hasil yang penggarapnya ada hubungan famili dengan
pemilik sawah garapan itu hampir seluruh hasil diambil oleh penggarap
atas persetujuan pemilik sawah; kecuali bibit yang dikeluarkan (pada
umumnya pembagian itu berbanding 2:1) 2/3 untuk penggarap.
Karena sistem bagi hasil menurut adat sudah baik, maka Undang-
undang Bagi Hasil tidak dilaksanakan di Sumbar.
2. Masalah Lapangan Pemilikan Tanah di Luar Kecamatan Tempat Tinggal
Pemilik (Absentee Land Ownership)
Di Sumatera Barat tanah itu menurut hukum adatnya adalah kepunyaan
bersama, yang diatur pemakaiannya oleh mamak kepala waris atau
Penghulu suku sebagai pengatur ulayat suku. Jika seorang anggota
kaum mendapat penunjukan untuk memakai tanah seperti sawah
atau tanah kering, apa yang disebut dengan “ganggam bauntuak” dan
yang dalam kenyataannya sudah seolah-olah miliknya sendiri, namun
182