Page 214 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 214
Kalau alam (dengan teknologi dan modal yang terbatas seperti yang
sekarang ini), sudah menjadi faktor pembatas bagi orang Minang untuk
tinggal di kampung halamannya, maka faktor tambahan sosial-budaya
Minang dengan kedudukan wanita sebagai ahli waris harta pusaka
kaum, mengakibatkan laki-laki merantau, mula-mula keluar kampung,
kemudian keluar daerah. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena
pria-pria Minang ingin mendapatkan harta pencaharian sendiri dari
usaha jerih payahnya pula. Dengan demikian laki-laki dapat memiliki
Harta Pusaka Pencaharian untuk anak-anaknya. Faktor meneruskan
Pendidikan ke berbagai perguruan ketrampilan dan pendidikan tinggi,
ikut mendorong arus merantau itu, karena terbatasnya sarana Pendidikan
di Sumatera Barat. Perantauan besar-besaran terjadi akibat pergolakan
PRRI (peristiwa PRRI pada tahun 1958-1960 dan sesudahnya). Jumlah
orang minang yang dirantau ditaksir sekitar 1,5 juta orang, sehingga
sawah/ladang tanah ulayat banyak ditinggalkan akibat perantauan
tersebut.
Dengan berangsur-angsur keadaan keamanan dan “sosbudek” di
Sumatera Barat bertambah baik sehingga Pemerintah Daerah Sumbar
dihadapkan lagi pada masalah tanah oleh karena:
(1) Mereka yang gagal dirantau, kembali dan memerlukan tanah
garapan, serta
(2) Daerah-daerah bagian tengah Sumbar sudah padat pula dengan
(pertambahan) penduduk dan faktor ini sangat dirasakan
“Transmigrasi Lokal” atau “Resettlement”.
Menurut Sensus 1971, tabel penduduk berdasarkan golongan
umur adalah sebagai berikut :
179