Page 245 - Mozaik Rupa Agraria
P. 245
Sebelum terjadi kepunahan arwana seperti yang terjadi di
luar Empangau, beberapa nelayan mulai membuat berbagai
kesepakatan tentang penangkapan ikan di danau. Sadar akan
nilai ekonomi yang tinggi dari arwana usaha-usaha perlindungan
pun dilakukan oleh para nelayan. Mulai pertengahan 1980-an,
beberapa nelayan untuk melakukan perlindungan dengan usaha
restocking (pelepasliaran) dan menegakkan aturan pembatasan
penangkapan agar ikan tersebut tidak menghilang. Sejak saat
itu, peraturan yang disepakati para nelayan ini terbukti mampu
mencegah ikan ini dari kepunahan.
Nama Empangau sebagai penghasil arwana alam (bukan
hasil pemijahan di kolam) serta keberhasilannya dalam usaha
konservasi lokal itu menarik perhatian calon Bupati saat itu,
Abang Tambul Husin. Ia meminta penundaan pelepasliaran
arwana agar dilakukan pasca pelantikannya nanti. Setelah
terpilih, penggagas Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi
itu kemudian mencanangkan danau Empangau sebagai Danau
Lindung dengan SK Bupati Kapuas Hulu No. 6 tahun 2001.
Konsekuensi status danau lindung tersebut adalah adanya aliran
dana dari pemerintah yang harus disalurkan kepada desa. Saat
itu, Bupati terpilih menjanjikan bantuan dana untuk pembelian
12 ekor arwana yang baru bisa dicairkan dengan pengajuan
proposal dari nelayan. Urusan-urusan dana dan persiapan
pelepasan oleh Bupati mengharuskan para nelayan membentuk
organisasi resmi sebagai legalitas di tingkat pemerintah daerah.
Dari sini, terbentuklah organisasi Rukun Nelayan yang dalam
perkembangannya menjadi Lembaga Kontak Tani Nelayan
dan yang terakhir menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Organisasi nelayan yang terbentuk kemudian berperan
penuh mengontrol akses seluruh warga terhadap Danau
232 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang