Page 6 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 6
M. Nazir Salim & Westi Utami
diskusi itu saya menangkap beberapa persoalan terkait pelambatan
jalannya RA, salah satu hal yang penting adalah bangunan argumen dan
pemahaman TORA pelepasan kawasan hutan yang tidak sama antara
ATR/BPN dengan KLHK. Satu hal yang paling dominan adalah, minimnya
komunikasi untuk memahamkan diantara kedua lembaga tersebut,
khususnya di level daerah, yakni antara ATR/BPN dengan BPKH di
daerah yang bertanggung jawab terhadap persoalan TORA kawasan hutan.
Penulis mencoba menjelaskan secara detail kajian perdebatan
tersebut pada bab tiga dalam buku ini. Intinya adalah, TORA pelepasan
kawasan hutan yang dikeluarkan oleh KLHK sesuai SK terakhir 20
Desember 2018, ada sekitar 1 juta hektar lahan yang dikeluarkan dari
kawasan hutan namun masih dalam bentuk SK “Peta Indikatif Alokasi
Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA” Revisi III dari total
Peta Indikatif 4,1 juta hektar. Dalam Peraturan Menteri KLHK No. 17
Tahun 2018, proses pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi (HPK) untuk TORA harus “melewati” kajian dan penelitian
dari Tim Terpadu (Pasal 8). Tim Terpadu melakukan pengolahan dan
analisis data dan membuat rekomendasi pencadangan pelepasannya. Tim
ini bekerja berdasarkan Peta Indikatif yang dikeluarkan oleh KLHK
sebagaimana sudah dikeluarkan sekitar 1 juta hektar. Tim Terpadu inilah
yang merekomendasikan perubahan-perubahan kawasan hutan untuk
TORA, khususnya HPK. Untuk memanfaatkan kawasan hutan yang dica-
dangkan sebagai TORA butuh proses usulan atau permohonan oleh men-
teri/lembaga, gubernur, bupati, pimpinan organisasi masyarakat, dan
perseorangan. Semua proses itu tidak bisa serta merta dari dicadangkan
kemudian perubahan tata batas, harus melewati kajian dari KLHK yang
ditunjuk oleh menteri (Pasal 12-16).
Persoalannya, beberapa pihak di ATR/BPN mengalami miss persepsi,
menganggap SK Peta Indikatif adalah pelepasan kawasan, padahal
prosesnya masih panjang, sehingga muncul anggapan KLHK masih belum
melepaskan kawasan hutan. Miss persepsi ini penting dipahami karena
faktanya menjadi argumen yang menonjol dalam perbincangan di ka-
langan ATR/BPN. Kesimpulan penulis di atas diperoleh dari diskusi
intensif dengan dua lembaga tersebut baik di pusat maupun di daerah.
vi