Page 89 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 89
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
penulis temukan di Arsip ATR/BPN, lebih banyak menye-
lesaikan pemindahan hak-hak skala besar, seperti erfpacht,
partikelir, dan sewa yang bersumber pada hukum Eropa,
sementara yang bersumber pada hukum adat sesuai
perintah UU No. 24/1954 belum diselesaikan. Jika melihat
beberapa produk kebijakan yang dikeluarkan, Kemente-
rian Kehakiman sesuai amanat UUDS lebih banyak mela-
yani ajuan dari berbagai pihak yang mengusulkan per-
pindahan hak yang sudah diputus oleh pihak kejaksaan
di daerah. Kementerian Kehakiman sebagai pihak yang
mengeluarkan keputusan atau penerbitan hak baru, pe-
mindahan, penolakan, persetujuan, dan memproses lebih
lanjut dari hasil keputusan di daerah (kejaksaan di da-
erah). Alasan kelengkapan infrastruktur inilah mengapa
persoalan agraria untuk sementara dipindah ke Keha-
kiman, karena sebelum 1957, Kementerian Agraria tidak
memiliki perangkat infrastruktur dan SDM hingga level
daerah.
Dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 190 Tahun
1957, kembali persoalan agraria diberikan kepada Kemen-
terian Agraria dan kemudian dilanjutkan dengan mener-
bitkan UU No. 7 Tahun 1958 yang kemudian menetapkan
tugas dan wewenang Agraria dari kementerian Dalam
Negeri kepada Kementerian Agraria dan pejabat-pejabat
agraria di daerah. Lahirnya UU tersebut kemudian diikuti
dengan pembentukan aparat agraria di tingkat provinsi,
karesidenan dan kabupaten/kotamadya. Pembentukan ini
kemudian dilakukan secara masif di seluruh wilayah
provinsi di Indonesia dan setelah UUPA keluar pada Sep-
53