Page 96 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 96

Yahman, Akur Nurasa, Westi Utami
            78

            tanah perkebunan di tangan pemerintah Jepang. Jepang juga mengambilalih
            pengelolaan perkebunan baik milik swasta maupun tanah rakyat dengan atau
            tanpa ganti kerugian, dengan dalih untuk kepentingan militer. Kepentingan
            militer tersebut berkaitan dengan upaya Jepang utuk mengatasi blockade
            Sekutu.  Untuk  itu diperlukan  persediaan  pangan  yang cukup dengan
            melipatgandakan hasil bumi. Dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan
            pemerintah Jepang memberikan ijin kepada penduduk untuk menggarap
            tanah-tanah kosong bekas perkebunan Belanda yang ditinggal pemiliknya.
                Tanah-tanah  bekas  perkebunan  tersebut diusahakan dalam  rangka
            memenuhi  kebutuhan  pangan bala  tentara Jepang. Diizinkannya  rakyat
            menggarap  tanah perkebunan  oleh pemerintah  yang  sedang  berkuasa
            (Jepang)  mengantar  pada  anggapan  bahwa  penggarapan  tanah  secara
            demikian adalah sah menurut hukum atau setidak-tidaknya sebagai “quasi
            legal  basis”  ,  yang  kemudian diistilahkan dengan okupasi  “quasi legal”
            menurut Karl Pelzer.
                Pada masa  revolusi  kemerdekaan (1945-1949), menyerahkan Jepang
            kepada  Sekutu,  meninggalkan  warisan persoalan pendudukan  tanah
            perkebunan  oleh  rakyat  semakin  rumit  dan kompleks. Oleh  sebab itu
            kekayaan  perkebunan  yang  mendukung  perekonomian nasional  itu
            telah  terjadi  serta diupayakan  bagaimana  perkebunan  segera dapat
            beroperasi dengan baik. Dalam masa pancaroba ini keadaan masyarakat
            serba belum menentu  sehingga  sambil mempertahankan  kemerdekaan,
            menata perekonomian dan menegakkan ketertiban hukum. Di belakang
            kepentingan perang sekutu yang menerima kekalahan perang Pemerintah
            Militer Jepang,  ternyata membonceng kepentingan  pengusaha Belanda
            yang ingin mendapatkan kembali  perkebunan  terutama  di  Sumatera
            Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat besar artinya bagi
            Negeri Belanda. Oleh sebab itu segala upaya militer (Agresi Militer I dan II)
            Belanda begitupun hasil Konferensi Meja Bundar, menegaskan eksistensi
            dan pengakuan milik (asset) Belanda yang ada di Indonesia.
                Pada masa Republik Indonesia Serikat, Agresi militer Belanda pertama
            pada bulan Juli 1947 ditujukan pertama-tama ke daerah pusat onderneming
            lainnya di  Indonesia,  demikian  juga  sasaran agresi  ke dua  pada  bulan
            Desember 1948 daerah-daerah onderneming pula, seperti Asahan, Malang
            Selatan,  dan Kediri.  Perusahaan  perkebunan Belanda (onderneming)
            menurut  sejarahnya adalah  hasil  kerjasama antara  raja-raja di  Sumatera
            Timur yang diwujudkan berupa pemberian konsesi-konsesi tanah.
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101