Page 381 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 381
Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
menyebabkan dia tewas seketika. Melihat ini, Letkol Rai sangat berang
dan dengan perintahnya kepada anggota pasukan agar mereka
menuntut balas sampai titik darah penghabisan. Mendengar perintah
dari pimpinan, maka seluruh anggota induk pasukan Ciung Wanara
106
maju sambil berteriak ―Puputan! Puputan! Puputan!‖. Dari pihak
tentara Belanda tidak seorangpun berani maju, sebaliknya anak-anak
pasukan Ciung Wanara maju dan mengamuk. Tentara Belanda tidak
berani menghadapi mereka satu demi satu, kecuali memuntahkan
peluru dari semua jurusan di darat dan dari udara. Akibat semburan
banjir peluru ini, satu per satu anak-anak pasukan Ciung Wanara roboh
ke tanah dan tewas. Serangan dan pertempuran heroik berlangsung
107
sampai pukul 15.00.
Meski tidak seimbang—pasukan Belanda jauh lebih unggul dari
segi kuantitas dan kualitas personil serta teknologi persenjataan—Letkol
Ngurah Rai dan pasukannya tidak ingin menyerah dan tetap teguh
dengan semangat ―Puputan‖, seperti telah dilaksanakan oleh raja
Badung dengan pengikutnya pada 20 September 1906, dan Raja
Klungkung dengan semua keluarga dan pengikutnya pada 28 April
1908 dalam perlawanan terhadap Belanda. Letkol Ngurah Rai beserta
semua staf dan anak buahnya melakukan ―Puputan‖, pertempuran
sampai titik darah penghabisan untuk membela dan memertahankan
108
kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan semangat nasionalisme,
Letkol I Gusti Ngurah Rai dengan staf serta pasukan Ciung Wanara-nya
membuktikan bahwa semangat Puputan yang telah dipamerkan raja-
raja tradisional di Bali dengan rakyatnya pada masa silam masih hidup
berbaur dengan ideologi modern, dan berkobar dalam dada putra-putra
109
Bali.
Meskipun perjuangan di Bali tidak dihiraukan pemerintah RI di
pusat, karena sibuk menggelar politik diplomasi, pejuang-pejuang
Republik di bawah pimpinan Ngurah Rai terus berperang untuk
memertahankan Republik. Sebaliknya, harus diakui pula realitas yang
terjadi bahwa Sunda Kecil telah berlaku pemerintah sipil yang dikuasai
aparatur Belanda NICA. Sementara raja-raja sudah menjadi kaki tangan
NICA. Dalama suasana demikian, maka andalan hanya tertumpu pada
rakyat untuk mendukung perjuangan bersenjata hingga pada titik
kulminasinya pada peristiwa pertempuran terbuka di Marga (Puputan
Margarana) tersebut. Tentu sudah disadari oleh Pak Rai bahwa jika
110
bertahan di selatan desa Marga dengan kekuatan pasukan yang
sebagian besar tanpa latihan militer, maka pasukan segera dapat
369