Page 393 - (New Flip) Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
P. 393

Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


                untuk  menghadiri  pemakaman  jenazah  almarhum.  Perjalanan  ini
                dihentikan oleh aparat keamanan NICA atas instruksi Residen Bali dan
                Lombok,  M.  Boon.  Demonstrasi  kedua  diadakan  pada  tanggal  29
                Desember  1946,  tepat  pada  upacara  tiga  hari  (ngetelunin).  Oleh
                keluarga  hari  itu  telah dipakai  kesempatan  untuk memobilisasi massa.
                Ketika itu hadir lebih dari 1000 orang dengan pengawalan ketat. Akan
                tetapi,  insiden  ini  memberikan  bukti  bahwa  suara  anti  Belanda  terus
                berlangsung  meskipun  dilakukan  penangkapan  terhadap  sejumlah
                pemimpin  Republik  yang  bergerak  secara  rahasia.  Pulau  Bali  sejak
                dahulu  selalu  berorientasi  ke  Jawa,  seperti  ditunjukkan  para  pemuda
                pelajar yang memasuki sekolah menengah dan sekolah tinggi di Jawa
                yang  tetap  berhaluan  pro-Republik.  Apabila  Persetujuan  Linggajati
                diratifikasi,  berarti  aliran  politik  yang  muncul  di  Bali  jelas  akan
                berorientasi ke Jawa. Kondisi ini sangat menyulitkan pemerintah Belanda
                setempat.   Karena  itu,  wartawan-wartawan  Republik  di  Jakarta
                          145
                menyatakan dalam tulisannya yang diberi tajuk ―Belanda di Bali duduk
                                146
                di atas dinamit‖.

                6.11. Refleksi

                        Respons   terhadap   berita   Proklamasi   di   Sunda   Kecil
                menghadirkan kondisi paradoks, bahkan hingga saat ini, terutama dari
                sudut  pandangan  resmi  pemerintah  pusat  dan  masyarakat  daerah,
                sebagaimana  disuarakan  institusi  veteran  pejuang.  Negara  RI  atau
                pemerintah pusat memberikan gelar pahlawan nasional terhadap sosok
                pejuang  I  Gusti  Ngurah  Rai  yang  memilih  cara  perjuangan  fisik
                bersenjata, dan Sosok pejuang Ide A.A. Gde Agung yang memilih cara
                perjuangan non-fisik diplomasi.

                        Kedua tokoh di atas sama-sama merespons berita Proklamasi di
                daerah. Dan keduanya adalah representasi dari aktor-aktor yang terlibat
                dalam proses revolusi Indonesia, yang bercirikan proses dialektika antara
                perang  dan  diplomasi  selama  kurun  waktu  1945–1949.  Ciri-ciri  inilah
                yang  membedakan  revolusi  Indonesia  dengan  revolusi-revolusi  di
                belahan dunia lain.
                        Paradoks yang terjadi dan membayangi generasi sekarang perlu
                diberikan  pemahaman  bahwa  kehidupan  kepahlawanan  senantiasa
                dilekati ciri-ciri yang paradoks. Kita bisa belajar dari surat-surat I Gusti




                                                                                 381
   388   389   390   391   392   393   394   395   396   397   398