Page 118 - 3-Bahasa Indonesia
P. 118
BIN-3.9/4.9/1/5.1
menggunakan cat dan pematung menggunakan kayu atau batu. Namun demikian, ada satu hal
yang harus diingat, bahwa bahasa yang digunakan para sastrawan walaupun pada mulanya
berasal dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dalam proses
kreativitasnya bahasa tersebut ikut mengalami pengolahan, sehingga tidak sama lagi dengan
bahasa komunikasi sehari-hari. Biasa dikatakan bahasa sastra itu bermakna konotatif atau
ambigu. Bahasa sastra tidak selalu dapat diartikan secara harfiah atau menurut arti kata
yang ada dalam kamus. Hal ini pun menimbulkan sifat khas sastra yang bersifat tidak
komunikatif praktis.
Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini
dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu
sendiri.Seorang sastrawan yang akan mencipta sastra sangatlah dituntut memiliki
kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan
diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekedar mengetahui
kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan
dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan
digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain
itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman
batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang
dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas. Banyak pelaku seni sastra yang
melakukan studi mendalam tentang objek yang sedang digarapnya. Misalnya, penulis novel
Gajah Mada merasa perlu mengadakan perjalanan dan mengunjungi Singapura untuk
mendapatkan pemahaman atau gambaran tentang luasnya daerah ekspansi Gajah Mada di
Kerajaan Maja Pahit ( Kick andy, Metro TV, Januari, akhir Desember 2007). Cornelia Agata,
artis yang memerankan tokoh dokter jiwa dalam drama Kenapa Leonardo? yang diproduksi
Teater Koma melakukan studi dengan membaca ilmu psikoanalisa, Sigmun Frud ( Show Biz
on Location, 11 Januari,2008 ).
Demikian juga dengan penikmat karya sastra, yang tidak cukup hanya menguasai ilmu
bahasa saja. Tak jarang seorang pembaca dituntut memiliki ilmu dan wawasan yang luas
agar dapat memberikan makna yang sempurna terhadap karya sastra yang dinikmatinya. Hal
ini semakin terasa pentingnya apabila aspek kehidupan yang digarap pengarang sangat
berjauhan dengan kehidupan pembaca tersebut. Misalnya, seorang pembaca dengan latar
belakang budaya Minangkabau akan merasa sulit saat berhadapan dengan novel Ronggeng
Dukuh Paruk yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa tersebut. Pembaca ini tentu harus
memahami dahulu aspek kebudayaan Jawa yang dikemukakan pengarang itu.
@ SMA N 1 Gondangwetan Kab. Pasuruan 6