Page 5 - e-book sistem tanam paksa di indonesia
P. 5
E-BOOK SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA
negara yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang. Untuk menjalankan tugas
tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch memfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan
produksi tanaman ekspor.
Karena pemerintah kolonial beranggapan bahwa desa-desa yang ada di Jawa berhutang
sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya membayar senilai 40% dari hasil
panen utama desa. Kemudian, Van den Bosch menghendaki agar setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa seperti tebu, nila
dan kopi. Penduduk kemudian diwajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya
minimal 20% atau seperlima luas tanah yang dimiliki untuk ditanami komoditas ekspor
tersebut, bagi mereka yang tidak memiliki tanah maka mereka diharuskan menyisihkan
sebagian hari kerja yaitu 75 hari dalam setahun untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan menjalankan sistem tanam paksa tersebut, pemerintah kolonial beranggapan
desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan
komoditas ekspor tersebut lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat
kelebihannya. Tapi jika kurang, desa harus membayar kekurangannya. Di tahun 1831, Van Den
Bosch mewajibkan tiga komoditas utama yaitu kopi, gula, dan nila.
2. Aturan Kebijakan Sistem Tanam Paksa di Indonesia
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal Van den
Bosch pada dasarnya adalah gabungan dari sistem pajak tanah (Raffles) dan sistem tanam wajib
(VOC). Berikut isi tanam paksa, diantaranya yaitu:
Setiap rakyat Indonesia yang memiliki tanah diminta menyediakan tanah pertanian yang
digunakan untuk cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang luasnya tidak lebih 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis-jenis tanaman yang laku di pasar
ekspor.
Waktu menanam sistem tanam paksa tidak boleh lebih dari waktu tanam padi atau kurang
lebih 3 (tiga) bulan.
Tanah yang disediakan bebas dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai
pembayaran pajak.
Rakyat indonesia yang tidak memiliki tanah pertanian bisa menggantinya dengan bekerja
di perkebunan, pengangkutan atau di pabrik milik pemerintah kolonial selama seperlima
tahun atau 66 hari.
By Mohamad Ully Purwasatria, M.Pd 5