Page 136 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 136
26 J.C.A. Lichtenbelt (1884-1979)
Johanna Catharina Adriana Lichtenbelt (1884-1979) pada periode 1915-1935 adalah guru di
Jawa. Di sana ia mendidik para gadis Indonesia yang ingin menjadi guru. Ia mengajar di
Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Salatiga (1920-1921) dan selama lima tahun
menjabat sebagai direktris dua Normaalscholen (Sekolah Normal) untuk para guru bantu
pribumi (pendidikan untuk hoofdakte / ijazah utama) di Yogyakarta dan Blitar.
Setelah pensiun (1935) ia meneruskan pekerjaannya dengan mendirikan sekolah di Bali yang
murid-muridnya dididik dengan menghormati kebudayaannya sendiri. Bali adalah kerajaan
Hindu. Nyonya Lichtenbelt menganjurkan modernisasi yang berangsur-angsur di pulau itu
agar dengan cara itu ‘een bandjir van vreemde invloeden te voorkomen, welke het oude
cultuurbezit zou kunnen verwoesten’ (dapat mencegah banjir pengaruh asing, yang bisa
merusak kebudayaan tua yang dimiliki) (surat kepada Nyonya E.M.L. van Deventer-Maas, 6
Februari 1939). Gagasan ini bukanlah baru. Arsipnya mengandung berkas-berkas tentang
perhimpunan sekolah Siladarma di Klungkung (Bali Selatan) yang pada tahun 1927
berkeinginan mendirikan Hollands-Inlandse School / HIS (Sekolah Belanda untuk Pribumi)
dengan dasar Bali.
Ia berkorespondensi tentang rencana sekolah Hindu-Bali dengan orang-orang yang menjabat
kedudukan terkemuka di bidang politik dan kebudayaan. Termasuk kelompok ini antara lain
R. Bonnet, pelukis seni yang tinggal di Bali; P.J.A. Idenburg, direktur Indische Departement
van Onderwijs en Eredienst / O&E (Departemen Pendidikan dan Ibadah di Hindia), dan
pendahulunya B.J.O. Schrieke; A.M. Joekes, anggota Majelis Rendah dan juga anggota
pengurus Kartinifonds (Yayasan Kartini) dan Van Deventerstichting (Yayasan Van
Deventer); dan Nyonya Van Deventer yang tersebut, janda dari ahli Hindia C.Th. van
Deventer.
Pada awalnya berupaya mendirikan Sekolah Normal, selanjutnya mendirikan sekolah untuk
para gadis dari gegoede milieus (kalangan tinggi). Setelah direktur Departemen Pendidikan
dan Ibadah pada Desember 1938 memberitahunya bahwa sudah cukup banyak Sekolah
Normal dan bahwa pemerintah sudah cukup lama sibuk dengan ‘Balinisering’ (Balinisasi)
dari pendidikan umum di Pulau Bali, maka dicarilah kemungkinan pendidikan perempuan
dalam bentuk umum dan melengkapi. Mengingat keadaan ekonomi keuangan yang tidak
menguntungkan di tahun-tahun itu, baik pada pemerintah Hindia maupun pihak swasta tidak
ada animo untuk mendanai rencana-rencana itu.
135