Page 139 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 139

27  A.M. Joekes (1885-1962)


               Adolf Marcus Joekes (1885-1962) memulai karirnya di tanah kelahirannya Hindia-Belanda.
               Ayahnya, ke siapa dia dinamai, dan dua saudara laki-laki ibunya (F.A. dan J.H. Liefrinck)
               berkarir di Binnenlands Bestuur / BB (Pemerintahan Dalam Negeri). Pada tahun 1911 Joekes
               jr. masuk dalam dunia usaha, sebagai secretaris van de hoofdvertegenwoordiger (sekretaris
               dari wakil utama) pada Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij / SJS (Perusahaan Tram
               Uap Semarang-Joana) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij / SCS (Perusahaan
               Tram Uap Semarang-Cirebon). Dalam waktu bebasnya ia antara lain aktif sebagai
               gemeenteraadslid (anggota Dewan Kotapraja) di kota tempat tinggalnya Semarang dan
               sebagai voorzitter (ketua) dari Kartinivereniging (Perhimpunan Kartini), bagian dari yang
               sesudah ini disebut Kartinifonds (Yayasan Kartini). Pada tahun 1918 ia kembali ke Belanda
               untuk menjadi sekretaris pada Direktorat Utama SJS dan SCS yang bertempat di Den Haag
               (sampai tahun 1920). Ia menjadi anggota Vrijzinnig Democratische Bond (Persekutuan
               Demokrasi Liberal), yang pada tahun 1925 mengutusnya ke Tweede Kamer (Majelis Rendah).
               Terutama pada tahun 20-an Hindia merupakan tema penting dalam pidato-pidatonya, dalam
               pelbagai artikel yang diterbitkannya di Nieuwe Rotterdamsche Courant dan berbagai
               ceramahnya di Indisch Genootschap (Perserikatan Hindia).

               Dalam kata dan tulisan ia menekankan pentingnya pendidikan dalam proses emansipasi
               Hindia. Edukasi adalah dasar hak ikut bicara politik. Ia sangat menghargai Gubernur-Jenderal
               J.P. van Limburg Stirum (1916-1921), een staatsman van grote stijl (negarawan dengan citra
               tinggi), yang telah menunjukkan kepemimpinan yang berhasil dalam suatu periode
               perkembangan yang pesat. Tentang penggantinya, D. Fock (1921-1926), ia kurang antusias.
               Dengan tindakan penghematannya, Fock telah merugikan pendidikan dan kesehatan
               masyarakat. Juga dalam menindak pemogokan, ia kurang memberi perhatian yang cukup
               terhadap posisi ekonomi dari para pekerja Indonesia. Wet op Staatsinrichting (Undang-
               Undang Tata Negara) dan Wet op de Bestuurshervorming (Undang-Undang Reformasi
               Pemerintahan) yang diberlakukan pada masa Fock sebagai penguasa negeri, menurut Joekes
               lebih mendorong desentralisasi pegawai daripada hak ikut bicara. Dari sudut pandang
               kenegaraan menurutnya tidak bisa diterima, bahwa pendidikan ahli Indologi yang baru pada
               Universitas Utrecht (1925) dibiayai oleh Bataafse Petroleummaatschappij / BPM (Perusahaan
               Perminyakan Batavia), Koninklijke Paketvaart-maatschappij / KPM (Perusahaan Pelayaran
               Kerajaan), Stork, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Masyarakat bisa saja tidak memiliki
               kepercayaan atas para pegawai pemerintah lulusan dari ‘Oliefaculteit’ (Fakultas Perminyakan)
               itu, meskipun mereka telah memenuhi tugasnya senetral mungkin. Dengan latar belakang
               yang dimiliki, mereka memakai argumen berhaluan revolusioner menentang pemerintahan
               Belanda dan ‘kapitalisme’: dengan begitu wibawa pemerintah dirongrong.

               Setelah kembali ke Hindia dari perjalanan studinya (1928), ia menyatakan dalam wawancara
               bahwa media Eropa membantu mempertajam pertentangan ras.



               138
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144