Page 143 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 143

28  F.M. Baron van Asbeck (1889-1968)


               Dalam tulisannya yang tidak diterbitkan Indische herinneringen, Frederik Mari Baron van
               Asbeck (1889-1968) menganggap pendidikan di Universitas Leiden sebagai progresif. Selama
               masa studinya di bidang hukum dan ilmu-ilmu politik dengan antara lain mengikuti
               perkuliahan dari pakar hukum adat yang terkemuka Cornelis van Vollenhoven, ia belajar
               menghargai diri sendiri dan juga sifat dasar masyarakat Hindia-Belanda. Masyarakat itu harus
               berkembang melalui badan-badan perwakilan dalam ‘westerse en oosterse vormen’ (bentuk
               barat dan timur), menjadi masyarakat adat yang mandiri, bebas dari tindakan merendahkan
               oleh negara asal: suatu masyarakat yang hukum adat dan hukum dari kelompok-kelompok
               masyarakat lainnya seharusnya membentuk satu keseluruhan dan tidak memberi ruang untuk
               ‘rassenhoogmoed’ (kesombongan ras). Berdasarkan kepercayaan agama kristennya, dalam
               tahun-tahunnya di Hindia (1919-1933) ia telah membantu memperjuangkan tujuan ini.

               Ia memulai karirnya sebagai pegawai pemerintah pada Algemene Secretarie (Sekretariat
               Umum), kabinet dari gubernur-jenderal, di mana ia naik pangkat menjadi kepala Afdeling
               Politieke Zaken (Bagian Urusan Politik). Pada tahun 1924 ia juga menjadi gurubesar di
               bidang internationaal publiek (publik internasional) dan vergelijkend koloniaal recht (hukum
               kolonial perbandingan) pada Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), yang dibuka pada
               tahun itu juga.

               Melalui pekerjaannya ia menjalin hubungan dengan orang-orang Indonesia. Arsipnya berisi
               surat-surat dari dan kepada ‘Indonesische studenten en jonge vrienden’ (para mahasiswa dan
               teman-teman muda Indonesianya) pada periode 1922-1940. Termasuk kelompok ini antara
               lain Mohammad Yamin, yang kemudian di masa Soekarno menjadi Menteri Pendidikan.
               Penjabat sementara untuk Inlandse Zaken (Urusan Pribumi) E. Gobée memperkenalkan Van
               Asbeck ke kalangan kenalan Indonesianya. Hal yang sama dilakukan juga oleh temannya H.
               Kraemer, taal-afgevaardigde (utusan bahasa) dari Bijbelgenootschap. Bersama dengan
               Dokter A. Nortier, Kraemer bekerja untuk pusat misionaris di Mojowarno. Van Asbeck sangat
               antusias dengan pusat misionaris itu. Menurutnya, di pusat itu kehadiran Belanda di Hindia
               mendapatkan bentuk dan makna praktisnya; di situ melalui kerja sama dapat membantu
               orang-orang Indonesia agar mandiri ‘naar eigen kunnen en met eigen verantwoordelijkheden’
               (sesuai dengan kebisaannya dan tanggung jawabnya sendiri) (Indische herinneringen). Pada
               tahun 1922 ia ikut ambil bagian dalam kamp untuk para murid Jawa dari sekolah-sekolah
               menengah dan yang sejenis.

               Korespondensi surat yang disebut di atas mengilustrasikan polarisasi antara Timur dan Barat,
               yang manisfestasinya setelah pemberontakan komunis pada tahun 1926/1927 semakin tampak
               jelas. Kemudian konsulen pertanian Boenawan Roesmipoetro (Oktober 1928 dan Januari
               1933) menulis tentang egoisme yang kasar dan diskriminasi di kalangan pegawai Eropa di
               pedesaan; tentang pemfitnahan yang sebagian menimpanya dan sebagai dampak dari semua
               keterikatannya dengan masyarakat desa yang semakin tumbuh. Di Van Asbeck ia merasakan


               142
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148