Page 79 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 79

13  L.C. Westenenk (1872-1930)


               Dalam bukunya Hoe wij Insulinde besturen (Bagaimana kita memerintah Insulinde /
               Kepulauan Hindia, 1913-14) wartawan J. Bekaar menulis satu bab tentang ‘een vriend der
               Dajaks’ (seorang teman Dayak), seorang controleur-woudloper (pengawas-penjelajah hutan)
               yang menyimpan tembakau pipanya dalam sebuah tengkorak harimau. Di balik sosok itu,
               terutama bukan sebutannya, tersembunyi Louis Constant Westenenk (1872-1930), anak laki-
               laki pengusaha kopi di Semarang, yang memulai karir pemerintahannya pada tahun 1893 di
               Westerafdeling van Borneo (Bagian Barat Borneo) yang masih primitif. Setelah lima tahun ia
               dipindah ke Sumatra. Di sana ia berturut-turut menjadi controleur (pengawas) di Sumatra’s
               Westkust (Pantai Barat Sumatra) dan di Aceh (1897-1909), asisten-residen di Padangse
               Bovenlanden (Dataran Tinggi Padang) (1909-1910), residen di Bengkulu (1915-1920) dan
               Palembang (1920), dan gubernur di Sumatra’s Oostkust (Pantai Timur Sumatra) (1920-1924).
               Ia mengakhiri karir Hindianya sebagai anggota Dewan Hindia (1924-1925), dewan penasihat
               tertinggi dari gubernur-jenderal: di dalam dewan ini, menurut aturan, duduk seorang mantan
               pegawai pemerintahan dari Buitengewesten (Wilayah Luar Jawa dan Madura).

               Westenenk sebagai pengawas Pantai Barat Sumatra berhadapan dengan kerusuhan pada tahun
               1908. Sebabnya terletak pada penghapusan budidaya kopi wajib (yang telah lama tidak
               rendabel) dan pelaksanaan pajak pendapatan. Perlawanan terhadap tindakan ini disulut oleh
               para kepala rakyat dan sekte mistik Islam (tarekat). Oposisi mendasarkan diri pada Plakat
               Panjang yang dikeluarkan pada tahun 1833 ketika daerah itu ditempatkan di bawah
               pemerintahan langsung. Di dalam plakat itu pemerintahan menjamin hak rumah tangga dan
               politik dari masyarakat dan menjanjikan tidak akan memungut pajak. Menekan
               pemberontakan itu memakan jiwa sejumlah orang muslim. Ketika keadaan kembali tenang,
               Westenenk meminta pendapat kepada Mohammedaanse schriftgeleerden (para ahli tafsir)
               apakah pemberontakan itu  bisa dianggap sebagai perang agama yang sah. Para ahli tafsir itu
               menyangkalnya: menurut mereka pemberontakan itu tidak sah dan tidak tepat, dan pajak yang
                                                                                    31
               dikenakan harusnya langsung dibayar. Dalam notisi yang tak bertanggal , Westenenk
               menulis bahwa jihad (perang suci) menurut ajaran Islam tetap diperbolehkan. Tentang hal itu
               ia mendasarkan diri pada penelitian yang terbit di tahun 90-an mengenai orang-orang Aceh,
               yang dilakukan oleh ahli Islam Chr. Snouck Hurgronje, yang kemudian menjadi Adviseur
               voor Inlandse Zaken (Penasihat untuk Urusan Pribumi). Pernyataan dari para ahli tafsir itu
               menjadi titik tolak bahwa untuk sementara tidak ada perang suci kalau keadaan sosial-politik
               menguntungkan bagi para kafir (orang tidak beragama). Kebencian terhadap kafir dan
               fanatisme menjadi berkurang sebagai dampak pengaruh Eropa yang meningkat. Westenenk
               merasa malu harus menyatakan bahwa wij (kita orang barat) oleh para orang muslim dicap
               sebagai minderwaardige wezens (makhluk yang rendah) dan bahwa korban orang muslim
               menurut hukum Islam murni adalah martir.




               31
                 Lihat arsipnya.
               78
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84