Page 75 - Negara Kolonial 1854-1942. Panduan penelitian arsip kementerian urusan tanah jajahan. Kepulauan nusantara
P. 75
12 J.D.L. le Febvre (1870-1955)
Pada tahun 1892, Johan David Leo le Febvre (1870-1955) datang di Hindia sebagai pegawai
pemerintah yang baru. Dia mulai bekerja sebagai aspirant-controleur (pengawas muda),
kemudian sebagai controleur (pengawas), pertama-tama di Padangse Bovenlanden (Dataran
Tinggi Padang), Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) sampai tahun 1903, kemudian di
Palembang (1903-1905) dan di Sumatra’s Oostkust (Pantai Timur Sumatra) (1905-1907).
Dalam memorinya yang tidak dipublikasikan (di dalam arsipnya), ia menceritakan
kekagumannya yang besar tentang orang-orang Minangkabau (penduduk Pantai Barat). Dia
mempelajari bahasa dan adat mereka, dan pada saat melakukan perjalanan daerah ia
mendengarkan cerita-cerita mereka dengan penuh perhatian, yang mengisahkan bahwa pihak
yang kalah dari Belanda dibicarakan dengan cekikikan. Ia menyimpulkan bahwa orang
Minangkabau menganggap orang Belanda lebih sebagai sekutu daripada penguasa. Ia sangat
kritis terhadap perubahan drastis yang terjadi di daerah itu.
Di bawah Gubernur-Jenderal J. B. Heutsz (1904-1909) Belanda bergerak memasuki
Buitengewesten (Wilayah Luar Jawa dan Madura) dari pantai menuju pedalaman. Dengan
senjata modern mereka, yaitu repeteergeweren (senapan kokang) yang digunakan pertama
kalinya pada Perang Aceh, mereka mematahkan perlawanan Indonesia. Militerisme
merajalela. Para perwira tentara diangkat menjadi pegawai pemerintah. Agar dapat lebih cepat
menyerang masuk, maka dibangun jalur-jalur kendaraan militer dan jalan-jalan yang sudah
ada diperkeras. Oleh karena adanya jalan penghubung yang lebih baik, maka berakhirlah
kebiasaan untuk menginap di desa-desa dan bercakap-cakap dengan penduduk setempat
selama mereka melakukan perjalanan daerah. Pemerintah kehilangan kontak dengan
penduduk. Dalam waktu yang singkat diberlakukan geldhuishouding (pengaturan keuangan).
Pemerintah memberikan beban tambahan dalam bentuk pajak dan kerja pengabdian. Untuk
bisa membayarnya, orang kurang lebih dipaksa bekerja sebagai kuli.
Pada tahun 1907 Le Febvre pindah ke Arbeidsinspectie (Inspeksi Buruh): dia tetap bekerja di
Pantai Timur Sumatra. Dia tidak bisa menghargai situasi kondisi kerja di perusahaan-
perusahaan. Para kuli sering mendapatkan tempat yang buruk; upah mereka dibayar dalam
apa yang disebut ‘Estategeld', tanda bayaran yang hanya bisa mereka tukarkan untuk makanan
(yang buruk) di toko-toko perusahaan; mereka didenda kalau mereka datang terlambat ke
tempat kerja; mereka harus membayar veldhulp (bantuan kerja di lapangan), dan sebagainya.
Laporan-laporan Le Febvre begitu tidak menguntungkan bagi pengusaha, sampai-sampai dia
terpaksa mengundurkan diri (1909) setelah dua tahun bekerja. Dia kembali lagi masuk korps
pegawai pemerintah dan diangkat menjadi asisten-residen di Benkoelen (Bengkulu). Pada
tahun 1915 dia menjadi residen Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Setahun
kemudian pecah pemberontakan Jambi, Sumatra Tengah. Ketika keadaan tenang kembali lagi,
pemerintah Hindia menginstruksikan seorang anggota Raad van Indië (Dewan Hindia) J.H.
Liefrinck untuk menyelidiki belastingheffing (pemungutan pajak) dan tuntutan kerja
pengabdian di Sumatra. Liefrinck juga mengunjungi Pantai Barat. Residen Le Febvre
74