Page 32 - 11
P. 32
32 the story
BAPAK
Menua, rambut hitamnya kian tiada. Berganti dengan uban yang merata
tumbuh di kepala, wajahnya pun sudah tampak keriput terbilang usia. Daya ingatan-
nya mulai menurun, walau belum menjadi pikun. Buktinya, ia masih ingat kisah cinta
pertemuan antara mama dengan papa di zaman muda. Namun, ada hal yang ia
lupa. Kisah cinta anak perempuannya itu berkali-kali dikisahkan padaku, seolah aku
belum dengar kisah itu. Pun aku tidak pernah menolak kalau ia hendak mencerita-
kan kisah itu, lagi dan lagi. Aku selalu menikmatinya.
Pendengarannya juga masih se- Kakek dan nenekku adalah ibu
hat, aku tak pernah repot-repot berteriak dan bapakku. Tidak, kali ini aku tidak
yang seolah membentak saat berdialog mau membahas tentang ibu, biarlah be-
dengannya. Penglihatannya? Aku rasa ma- liau tenang di sana. Aku sangat menyayangi
sih terbilang baik. Hobinya saja membaca ibu. Seperti halnya rasa sayangku kepada ba-
apapun, mulai dari koran, majalah, dan pak.
buku khotbah jumat. Tapi usia tidak me- Bapak adalah bapakku, bapak
nipu, fisiknya mulai lemah, walau ia selalu dari mamaku, dan bapak kami semua.
menutupi fakta itu. Tujuh puluh dua tahun Sosok yang tidak pernah mau dikhawa-
usianya. Sudah jauh dari kata muda, kan? tirkan, selalu merasa baik-baik saja wa-
Kedua anaknya sudah berkeluarga. Jumlah lau dalam kondisi sakit sekalipun. Beliau
cucunya sudah empat, akan menjadi lima tidak pernah minta dibawa ke dokter,
bulan depan. Dua di antaranya sudah bera- tidak pernah mau minum obat apap-
da di sekolah menengah atas. Ya, aku salah un. Beliau juga benci AC mobil. Fasilitas
satunya. pendingin itu tidak membuatnya sejuk,
Sejak usiaku delapan bulan, aku malah beliau semacam alergi dengan AC
sudah tinggal bersama beliau dan istri- mobil. Biasanya, setelah menggunakan
nya di sebuah desa, jauh dari mama dan AC mobil beliau akan terserang demam
papa. Beliau dan istrinya sendiri yang me- dan flu.
minta, untuk mengasuhku, “Wes to, Nduk, Mengenai diriku, bapak kayak-
anakmu biar kami yang mengurusi hitung- nya tidak bisa jauh dariku, aku pun
hitung biar ibu dan bapak ndak kesepian juga sebenarnya. Semua orang tua pas-
cuman tinggal berdua di sini,“ pinta wanita ti begitu pula, bukan? Dan bapak salah
lima puluh tahun itu. Jadilah aku tidak satunya. Tapi, beliau selalu mendukung
mengenali mama dan papaku. Yang aku keputusan yang aku ambil untuk ting-
tahu, sepasang “orang tua“ itu adalah gal di pesantren. “Mondok itu belajar
orang tuaku. Ya, alasan yang menjadi jawa- mandiri, to? Dulu mamamu juga Bapak
ban mengapa aku memanggil mereka “ibu pondokkan,“ ucapnya. “Harus betah,
dan bapak” hingga saat ini. yo, nanti nek mama papamu njenguk ke

